DUA
“Tinaya[1],”
panggil seorang pria dengan nada kesal.
Yang dipanggil malah nyengir lebar dengan tampang
tak bersalah. Padahal dia terlambat satu jam dari janji kencan mereka hari ini.
Park Myungsoo melipat tangan di dada dengan kesal.
Menatap seorang gadis yang berlari ke arahnya. Jauh-jauh pria Korea ini datang
dari Seoul untuk ulang tahun gadisnya, tetapi gadisnya ini malah bangun
kesiangan dan datang dengan wajah polos.
Tina, gadis berkuncir kuda itu datang
terengah-engah dan langsung melingkarkan tangan di tangan Myungsoo. “Sekarang
kita kemana oppa[2]?”
gadis itu tahu sekali bagaimana merebut perhatian kekasihnya itu.
Dibanding dengan harus menjelaskan panjang lebar
alasan kenapa dirinya datang terlambat, lalu itu bermula dari dirinya bangun
kesiangan yang berentet dari pekerjaannya semalam yang harus selesai dan
membuatnya harus bergadang yang karena sebelum-sebelumnya tidak dikerjakannya
karena asik berleha-leha, Tina memilih meluncurkan kalimat itu. Sebenarnya
alasan panjang yang lain yang berhubungan dengan keterlambatan datangnya Tina
masih lebih banyak lagi. Tapi, meluncurkan kalimat itu lebih tepat dan cepat.
Tina terkekeh dalam hati.
“Ah, kau ini. Baiklah, aku tidak jadi marah.”
Tina tersenyum menang dan bangga karena
orang-orang di sekelilingnya melihat kemesraan mereka yang—walaupun orang-orang
tersebut tidak mengerti apa yang Tina dan Myungsoo katakan, tapi—pasti membuat
iri. Tina bisa mendengar itu, orang-orang berbisik iri.
“Ya, kau pasti tidak mendengarkanku.”
“Mweorago[3]?”
“Haah sudahlah,” Myungsoo menghela nafas. “Kaja[4].”
Tina hanya ikut kemana kompasnya membawanya hari
ini. Kemana kekasih hatinya ini membawanya di hari ulang tahunnya yang juga
hari jadi mereka di tahun ke dua. Tina akan menjadi turis hari ini. Biar
Myungsoo yang menjadi guide hari ini. Di hari spesial ini.
Mereka meninggalkan kafѐ di pinggir jalan itu.
Sekarang mereka berada di dalam mobil Myungsoo. Sporty silver.
“Hei, oppa. Apa kita akan ke pantai?”
Myungsoo menyerah. Dia hanya mengangkat bahu
sambil tersenyum. Gadisnya ini bisa membaca pikirannya dengan baik. Karena
memang kota Balikpapan adalah kotanya. Myungsoo hanya pernah tinggal beberapa
minggu saja di Balikpapan, tapi ingatannya akan jalanan kota minyak tersebut
cukup baik. Diapun melihat gadisnya ini hanya sekali dan itu di pantai yang
akan mereka datangi. Dan waktu itu Tina sangat menarik perhatiannya, dia bisa
santai tertawa tanpa peduli apa orang lain membicarakannya atau tidak. Dan
Myungsoo mengingat Tina dengan baik. Sampai pada Agustus tiga tahun lalu yang
membawanya pada gadis ini.
Tentu saja Tina tahu kemana mereka akan pergi.
Myungsoo sudah membicarakan dirinya dan pantai Manggar sebanyak sepuluh kali setiap
mereka berkomunikasi. Tina hanya tersenyum kecil.
“Wuah, oppa culas! Seharusnya kau
memberitahuku jadi aku bisa menyiapkan bekal.”
“Apa kau pikir aku akan percaya dengan makanan
yang kau buat?” kata Myungsoo memarkirkan mobilnya lalu berlari ke arah pintu
sebelahnya, membukakan pintu untuk Tina.
Tina pura-pura marah dan tidak mau turun dari
mobil. Walaupun begitu, dia sadar akan kemampuan memasaknya. Dia hanya bisa
memasak enak untuk dirinya sendiri dan akan membuat neraka jika membuatkan
makanan untuk orang lain.
Myungsoo menjulurkan tangannya sambil berlutut
seperti seorang pangeran dalam negeri dongeng yang sedang menjemput sang putri,
“Ayo putri. Aku menjemputmu.”
“Aah baiklah,” Tina berlagak seorang putri,
menjulurkan tangannya. “Karena senyummu manis maka aku memaafkanmu.”
Belum sempat Tina menurunkan kakinya, Myungsoo
sudah menggendongnya dan membuatnya benar-benar seperti putri dongeng
sungguhan. Myungsoo membawanya ke pantai dan mendudukkannya di atas pasir.
Romantis sekali untuk membuat orang yang melihat adegan itu mengutuk iri.
“Kau belum makan, ‘kan?” katanya sambil
berjongkok.
Tina hanya mengagguk kecil.
“Tunggu di sini,” katanya sambil berlalu menuju
salah satu warung dan memesan makanan.
Tina menikmati pantai kotanya ini. Tidak seindah
Bali, tapi baginya ini adalah pantai terindah. Tina memandang jauh ke laut yang
tak berujung. Mencoba mengingat detail cerita yang diingatkan Myungsoo dalam
cerita yang sama setiap mereka berkomunikasi. Setiap berkomunikasi? Jelas saja
karena Tina dan sedang menjalani LDR. Sampai saat ini dia have fun, masih. Tina
menekankan pada kalimat terakhir yang diucapkannya dalam hati. Setidaknya dia
masih tersenyum hari ini.
Langit senja mulai menampakkan diri. Jingga yang
indah. Meskipun matahari terbenam tidak terlihat di sini dan tidak terlihat
vertikal dari tempatnya duduk. Tapi itu menakjubkan. Begitu indah.
Tak lama Myungsoo datang membawa sebuah nampan
makanan.
“Ini makanannya putri,” Myungsoo masih melanjutkan
perannya.
“Ah, sudahlah jangan seperti itu terus. Hentikan.”
~
Myungsoo membawa makanan dan meletakkannya di
depan Tina, “Ini makanannya putri.”
“Ah, sudahlah jangan seperti itu terus. Hentikan.”
Myungsoo tertawa, “Makanlah.”
Myungsoo mengambil tempat duduk di samping Tina. Melihat
Tina menikmati makanannya sungguh menyenangkan. Memang, melihat orang yang
disayangi tersenyum bahagia akan membuat bibir kita ditarik oleh dua kutub.
Tina masih yang dulu, pikir Myungsoo. Saat pertama kali dia melihat gadisnya ini.
Dia tidak malu melakukan apapun dan penuh percaya diri. Dan saat ini, gadisnya
makan dengan begitu lahap dan orang-orang memandang aneh pada gadisnya.
Myungsoo hanya tersenyum geli. Beberapa kali gadisnya bertanya, “Wae[5]?”
dia hanya akan menjawab, “Gwaenchanha[6],
makanlah.”
Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan
itu. Karena memang Tina sedang lapar. Myungsoo tidak takjub lagi karena Tina
punya keahlian dalam bidang ini.
Myungsoo merangkul gadisnya itu sambil menatap
laut di kejauhan. Ujung
dunia yang tak terlihat. Laut yang menuju ke kotanya. Myungsoo menceritakan dirinya selama enam bulan terakhir
mereka tidak bertemu.
“Uwaa… jeongmal[7]?
Kau bertemu dengan Won oppa?”
Myungsoo mengangguk.
“Lalu, apa dia mencariku? Apa dia menceritakan
aku? Aku sangat merindukan oppa,” Tina bertanya dengan penuh semangat.
“Ne[8]. Jaewon
hyungdo bogoshipo[9].
Dia menitipkan ini untuk ulang tahunmu,” Myungsoo mengeluarkan kotak dari
bungkusan yang dia ambil dari mobil ketika memesan makanan untuk Tina.
“Ini apa?”
“Bukalah sendiri, akupun tidak tahu.”
“Hmm… kalau begitu aku akan membukanya nanti saja
di rumah. Lalu mana kado darimu?”
Myungsoo memasang wajah tidak suka karena Tina tidak
memanggilnya dengan ‘oppa’.
Tina buru-buru menambahkan, “..oppa?”
Myungsoo tersenyum. “Hadiah dariku?”
“Ne.”
Myungsoo menundukkan kepala, mendekatkan wajahnya
ke wajah Tina. Memandangi Tina beberapa detik tanpa kedip, “Hadiah untukmu...”
Myungsoo bisa melihat Tina begitu gugup. Matanya terpejam erat membuat Myungsoo tersenyum geli. Tapi Myungsoo menyelesaikannya dengan
sempurna.
Cup. Myungsoo mengecup kening Tina. Hanya di kening. Itu cukup. Tadinya, dirinya ingin mencium bibir Tina tapi
karena Tina berwajah seperti itu, Myungsoo jadi megurungkan niatnya. Nanti
saja. Ternyata gadisnya ini tidak
berpengalaman dalam hal seperti itu.
“Lihatlah.”
Myungsoo melihat Tina memandangnya aneh.
~
Tina kecewa. Dia hanya mendapat kecupan di dahi.
“Lihatlah,” ucapan Myungsoo ini membuat dirinya
membuka mata.
“Apa?” Tina bertanya bingung. Wajahnya menggambarkan isi hatinya
dengan absurd. Kecewa dan bingung. Tapi dengan cepat Tina menyadari ada logam yang dingin di lehernya. Ah,
manisnya kalung yang dikenakannya. Pecahan hati dengan huruf ‘M’. “Lalu, apa
kau memakainya juga oppa?”
“Tentu,” jawab Myungsoo sambil memperlihatkan
kalung yang dikenakan dengan inisial ‘T’.
Sejak kapan Myungsoo mengenakan kalung
itu? Tadi Tina tidak menyadari hal itu sama sekali. Tapi Tina tidak peduli, dia
hanya tahu dirinya sangat bahagia.
Langsung saja Tina memeluk kekasihnya itu. “Gomaweoyo[10]. Nan…
jinca jinca gomaweo[11].” Tina
semakin erat memeluknya. Lalu Tina melepaskan pelukannya dan mencium pipi
Myungsoo.
Dan tak terasa matahari sudah benar-benar
tenggelam. Langit sudah gelap.
“Kaja.”
Kali ini Tina tidak bisa menebak kemana dirinya
akan pergi, “Odie[12]?”
Karena terlalu bahagia otaknya tidak
dapat bekerja dengan baik. Tina tidak memiliki
gambaran tempat satu pun di kepalanya. Sepertinya otaknya mengalami
gangguan sementara.
Tina memasang wajah bingung dan tidak
suka. Jelas karena dirinya tidak bisa menebak kemana mereka akan pergi dan Myungsoo hanya tersenyum misterius. Sepertinya bangga Tina tidak bisa menebak kemana tujuan mereka
kali ini.
Dirinya dan Myungsoo hanya diam saja selama
perjalanan. Tina
sudah mencoba melihat jalanan yang mereka lalui tapi sepertinya memang benar
kalau otaknya mendapat serangan mendadak. Tetapi Myungsoo tiba-tiba saja
menghentikan mobilnya.
“Kau harus menutup matamu…”
Tina menimbang-nimbang.
“Baik,” Tina menyetujui karena kali ini Tina tidak
memiliki gambaran apa pun tentang tempat yang akan mereka kunjungi. Sama saja. Melihat jalanan dan tidak.
Tidak tahu apa-apa.
Sisa perjalanan Tina nikmati dengan memandang
hitam. Gelap di matanya.
“Kita sampai.” Myungsoo menuntun Tina berjalan. Menaiki sebuah
tangga lalu menuntun Tina untuk duduk.
Tina merasakan ikatan penutup matanya
melonggar tandanya Myungsoo melepaskan ikatannya. Dengan cepat Tina mencoba
membuat matanya cepat beradaptasi agar segera tahu dimana dirinya sekarang
berada.
Ternyata mereka di rumah Myungsoo. Tina tahu meski baru sekali datang ke
rumah ini karena memang baru Myungsoo beli enam bulan yang lalu. Tina kembali
mengembangkan senyum di bibirnya, Myungsoo
sudah menyiapkan kejutan kecil untuk dirinya. Mini
party khusus mereka berdua. Anniversary! Wow!
“Uwaa… oppa, gomaweo… jinca.”
Dan sebuah suara yang Tina kenal menyanyikan lagu
selamat ulang tahun dalam bahasa Korea. Muncul dari kegelapan. Tina tahu dengan
pasti siapa orangnya.
“Won oppa!” seru Tina lalu memeluk kakak
tirinya itu dengan sangat erat.
“It’s seven years
already. I miss u so…” air mata
Tina tidak terhindar, jatuh begitu saja. Tina sangat merindukan orang yang
sekarang di pelukannya ini.
“Hei, aku juga merindukanmu. Tapi lebih baik kau
lepaskan pelukanmu ini Tina. Kecuali kau mau aku mati sesak napas?” Jaewon
mencoba melepaskan pelukan Tina.
Tina langsung melepas pelukannya dengan kaku dan
aneh. Myungsoo tertawa melihat tingkah Tina.
“Gudae, sekarang aku harus kembali ke
Seoul.”
“Kenapa cepat sekali oppa?”
“Ada hal yang masih harus kukerjakan. Apa kau
tidak tahu aku sekarang terkenal? Aku sibuk.”
“Huh dasar! Baiklah, sampai jumpa oppa...”
Tina memeluk lagi kakak tirinya ini.
“Ya, kau juga. Baik-baik di sini ya, sayang.”
Jaewon sengaja memberi tekanan pada kata terakhirnya. Lalu dia pergi.
“Kau jahat oppa, kenapa tidak memberitahu
kalau Won oppa datang?”
“Bukan kejutan kalau aku memberitahumu, bukan
begitu?”
Ya. Bukan kejutan kalau dirinya tahu
lebih dulu, “Baiklah.”
“Kau belum membuat permohonan dan meniup lilin. Hyung[13]
terlalu buru-buru.”
“Gwaenchanha, aku akan membuat permohonan.”
Segera Tina membuat permohonan dan meniup lilin.
Di sela menikmati sisa malam Myungsoo meletakkan lengan di bahunya. Mereka menikmati langit di atap.
Langit di kota. Tidak banyak bintang yang terlihat karena terkena polusi
cahaya.
“Oppa, kapan kau sampai? Kenapa tidak
memintaku menjemputmu di bandara? Won oppa juga, apa aku bukan adik yang
baik?” pertanyaan terakhir diucapkan dengan suara hampir tidak terdengar.
“Kenapa? kau cemburu jika ada yang melirikku?”
“Huft! Tentu saja! Semua orang di sini sudah gila!
Melihat orang asing saja langsung jadi sambaran! Apa lagi sperti oppa.”
Myungsoo tertawa. “Kau takut aku akan berpaling?”
kalimat ini Myungsoo katakan dengan penuh penekanan.
Wajah Tina murung lalu mulutnya dibuat-buat agar
tidak terlihat sedih. “Tentu saja! Aku tidak mau kau tinggal lagi seperti tahun
lalu Myungsoo,” Tina melepaskan tangan Myungsoo dari pundaknya dan berjalan
masuk ke rumah. Ternyata dirinya tidak tahan. Tidak bisa terlihat baik-baik
saja. Dia tidak akan tahan jika terus memandang wajah Myungsoo dengan keadaan
seperti itu.
Tina merasakan tangannya ditarik dan Myungsoo
memeluknya dari belakang. Myungsoo berbisik di telinganya, “Jwiseonghamnida[14]. Jeongmal jeongmal
mianhaeyo[15].
Aku tidak akan melakukannya lagi.”
“Lepaskan, Myungsoo.”
Tipikal gadis ini, jika marah dia akan memanggil
kekasihnya dengan namanya saja, bahkan jika sangat marah dia akan berlaku tidak
mengenalnya dan menambahkan ssi[16] di
belakang namanya atau mungkin akan memanggilnya dengan ahjussi[17].
Myungsoo melepaskan pelukannya dan memutar badan
Tina. “Berjanjilah kau tidak akan memanggilku begitu lagi.”
Tina tertawa hambar. “Ayo masuk,” katanya sambil
melepas tangan Myungsoo.
Tina membanting pintu kamarnya. Tas dan ponselnya
dilempar sembarangan. Lalu giliran badannya yang dilempar sembarangan di tempat
tidur. Air matanya tumpah. Mimpi apa Tina semalam? Kenapa hari yang seharusnya
indah hancur berturut-turut dalam dua tahun terakhir? Kenapa kekasihnya ini
mengungkit cerita masa lalu yang menyakitkan itu lagi? Padahal dulu dia
berjanji tidak akan mengungkitnya barang sedikitpun.
Ponselnya berdering, satu pesan masuk. Tina hanya
melihat sekali layar ponselnya dan ia enggan menyentuh ponselnya. Ponselnya
kembali berdering, kini panggilan masuk, hanya mendengar deringnya ia tahu
siapa yang menelponnya, dan Tina malas. Tina kesal. Sakit hati. Beberapa pesan
masuk dan panggilan masuk ke ponselnya dan semuanya dari Myungsoo. Tina kesal
lalu menon-aktifkan ponselnya.
Tina bergelut di dalam selimutnya. Terlalu malas
melakukan hal lain. Tina bahkan tidak ingat apa saja yang sudah mereka lakukan
seharian tadi dan bagaimana dia bisa sampai di rumah. Yang dia ingat dia turun
dari mobil sporty silver Myungsoo. Tanpa senyum dan langsung masuk ke dalam
rumah.
~
Myungsoo membiarkan Tina masuk ke dalam rumah
tanpa kata keluar dari mulutnya dan senyum pun dibiarkannya saja malam ini.
Myungsoo bergelut di dalam mobilnya, masih di depan rumah Tina. Mengawasi
gadisnya, berharap satu dua jam kemudian gadisnya akan keluar dan memafkannya,
seperti tahun sebelumnya.
Myungsoo benar-benar menyesal mengungkit kembali
cerita masa lalu itu. Entah kenapa mulutnya begitu saja melepaskan kata-kata
itu. Otaknya pun eror, tidak memberi aba-aba apa pun.
Myungsoo mengirimi Tina pesan. Meminta maaf. Tapi
tujuh belas pesan singkat permintaan maafnya tidak dibalas barang satu pun.
Telepon darinya pun tak digubris. Bahkan di panggilan terakhir sudah bukan lagi
nada sambung tapi operator yang mengatakan nomer Tina sedang tidak aktif.
Menyerah. Myungsoo pulang, membiarkan gadisnya tenang—dan dia juga butuh
menenangkan diri.
[1]
Akhiran panggilan kepada orang yang sudah akrab
[2]
Panggilan untuk kakak laki-laki dari adik perempuan; panggilan sayang untuk
kekasih
[3]
Ada apa?
[4]
Ayo pergi
[5]
Kenapa?
[6]
Tidak apa-apa
[7]
Sungguh?
[8] Ya
[9]
Kakak Jaewon juga merindukanmu
[10]
Terima kasih (informal)
[11]
Aku sungguh berterima kasih
[12]
Ke mana?
[13]
Panggilan kepada kakak laki-laki dari adik laki-laki
[14]
Maaf (formal)
[15]
Aku sungguh menyesal, maafkan aku
[16]
Bentuk panggilan hormat
[17]
Panggilan kepada pria paruh baya
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
write your comment here...