Dikhianati
-sebuah harapan palsu-
Finda Rahmadaniati/Indara/pemilik blog greenfira.blogspot.com
Gadis itu menatap kosong matahari yang mulai
terbenam dari tempatnya duduk. Air mata mengalir begitu saja tanpa dia mau.
Dengan cepat kejadian beberapa jam lalu kembali berputar di kepalanya tanpa
perintah.
*
Gadis itu baru pulang membeli bahan-bahan
untuk makan malam saat matanya menangkap seseorang yang familiar di matanya. Seorang
pria yang menggandeng mesra seorang wanita berjalan ke arahnya. Jarak tiga
langkah pasangan itu berhenti.
“Kenapa Sayang?” tanya si wanita.
“Gak apa-apa. Kamu duluan aja ke kafenya ya
Sayang? Aku perlu membicarakan sesuatu dengan orang itu.”
“Oke deh,” ucap wanita itu lalu mengecup
pipi pria di sampingnya.
Wanita itu berlalu, tapi sempat memandang
rendah gadis itu saat melewatinya.
“Nah, sepertinya kamu ada yang mau kamu
bicarakan?” ucap pria itu tanpa rasa bersalah.
Gadis itu menahan kesalnya sampai-sampai
belanjaannya jatuh.
“Kamu… siapa dia?” ucap gadis itu pelan
tapi jelas terdengar marah dari nadanya. Matanya yang berkaca-kaca memicing
kesal.
“Yah, begini saja, karena sudah ketahuan
lebih baik kita putus.”
Pria itu berlalu.
“Oh iya, terima kasih ya,” pria itu
berbalik sebentar lalu pergi sambil tertawa.
Saat gadis itu tidak lagi mendengar suara
tawa, air matanya yang sejak tadi susah payah dia tahan mengalir juga ke
pipinya.
Tanpa sadar gadis itu berjalan ke tempat
rahasianya. Tempat tinggi dan sepi, tempatnya menenangkan diri. Kakinya
melangkah begitu saja ke tempat ini.
*
Gadis itu menghapus air mata di pipinya
lalu tertawa kecil.
“Dua kali berturut-turut dikhianatin. Satu
kali lagi…” gadis itu berdiri sambil menepuk pahanya untuk membersihkan rok
yang dia pakai.
Dilihatnya matahari di depan matanya.
Matahari yang sebentar lagi terbenam menandakan dia sudah berjam-jam duduk di
situ.
“Sekali lagi, mungkin aku akan bunuh diri.”
Tepat saat gadis itu menyelesaikan
kalimatnya, dia merasakan tubuhnya jatuh menghantam tanah… dan berat.
“Aduh… sakit!”
“Lebih sakit lagi kalau kamu mati, bodoh!”
Siapa sih orang ini? Aku gak kenal dia. Ah,
bisa-bisanya dia ngatain orang bodoh di pertemuan pertama, ucap gadis itu dalam hati.
Gadis itu mendorong tubuh laki-laki yang
menimpanya, “Kalau mati kan gak merasakan apapun, mana mungkin bisa sakit.”
Laki-laki itu diam sebentar, sebenarnya dia
tahu itu benar tapi, “Yang sakit itu orang-orang yang kamu tinggalin.”
“Gak ada orang yang begitu,” ucap gadis
itu, sekali lagi membersihkan roknya, “Uh, kotor deh.”
Gadis itu mengambil belanjaannya dan
tiba-tiba tersadar sesuatu, “Jangan-jangan kamu berpikir aku akan bunuh diri?”
Melihat ekspresi laki-laki itu, gadis itu
tertawa terbahak-bahak sambil berusaha jalan menahan perutnya yang sakit.
“Apa? Kenapa? Tadi kamu bilang kamu mau
mati.”
Gadis itu sekuat tenaga menahan tawanya,
“Harusnya kamu jangan nguping setengah-setengah. Aku gak berniat bunuh diri
kok.”
Gadis itu mengembuskan napas keras-keras,
“Dah, aku harus pulang. Ibuku pasti marah karena aku telat pulang.”
Laki-laki itu masih duduk di tempatnya.
Terperangah dengan apa yang baru saja terjadi.
“Uh, berapa jam aku duduk di situ ya? Pasti
Ibu marah nih aku betul-betul telat.”
Gadis itu terus saja berbicara sendiri
sampai menghilang di balik mata laki-laki itu, tanpa gadis itu sadari laki-laki
itu tersenyum.
*
Gadis itu menghela napas berat. Tatapannya
lurus ke langit-langit kamarnya. Sebelah tangannya membuka-tutup hape lipatnya.
Dia sedang menimbang-nimbang ajakan teman sekelasnya untuk pergi bertemu dengan
kelompok cowok yang sudah mereka janjikan dari minggu lalu.
| Hei ayolah… kamu juga baru putus kan
tadi? |
Pesan terakhir di hapenya itu ingin sekali
dia hapus. Gadis itu memberi tahu temannya bukan ada maksud lain, hanya agar
temannya itu tidak membahas apapun tentang mantannya.
| Hei! Aku gak mau tau! Besok kamu harus
datang! |
Gadis itu belum juga membalas pesan
temannya sampai pesan baru masuk.
| Jangan pake baju biasa ya! |
Gadis itu langsung mematikan ponselnya yang
berdering menyebalkan. Biasanya, malam minggu seperti ini, jam segini dia
sedang jalan dengan pacarnya atau paling tidak berkirim pesan.
*
“Aku tahu kamu pasti datang!” ucap seorang
gadis dengan riang.
Gadis itu datang terlambat dan tetap duduk
di sofa walau tidak melakukan apapun, hanya melihat teman-temannya mendapat
kenalan baru dan bersenang-senang di akhir pekan.
“Huh! Kalau saja mereka tahu semua
laki-laki itu sama. Sama-sama brengsek!” ucap gadis itu di tengah bisingnya
musik berdentum-dentum di ruang karaoke.
Sekitar sepuluh menit sejak kedatangannya,
akhirnya gadis itu menyerah terhadap satu pasang mata yang terus mengintainya
sejak dirinya membuka pintu ruangan.
“Apa lihat-lihat?” tanya gadis itu ketus.
Laki-laki yang sejak tadi melihatnya kini
tersenyum, “Gak apa-apa.”
Mendengar jawaban seperti itu, gadis itu
mencoba mengalihkan fokusnya pada hape lipatnya. Setelah dia pikir-pikir dia
belum menghapus foto-fotonya bersama pacarnya. Ralat, mantan pacarnya.
“Mantanmu ya?”
Laki-laki itu bertanya tapi gadis itu tidak
menghiraukannya dan matanya tidak lepas dari loading menghapus data.
“Dihapus? Sudah putus ya? Pasti dia
berkhianat. Tukang selingkuh ya?”
Gadis itu menahan amarahnya, orang ini
nyebelin banget!
“Memang harusnya dihapus sih…”
Laki-laki itu tidak melanjutkan kalimatnya
karena gadis itu sudah beranjak pergi meninggalkan ruangan karaoke. Entah karena
apa, laki-laki itu mengejar gadis itu sampai ke luar.
“Jangan pegang-pegang!” ucap gadis itu
menepis tangan yang menahannya.
“Oi, kamu kenapa sih pergi kayak begitu?
Yang lain kan jadi gak nikmatin acara? Harusnya kamu gak usah datang sekalian
kalau cuma merusak suasana.”
Kenapa dia bilang? Memang harusnya aku gak
datang! Merusak suasana? Orang ini gila ya? Memang gara-gara siapa?
Laki-laki itu membalik badan gadis itu
karena tidak mendapat respon.
“Hei kenapa kamu nangis?”
Tanpa bisa ditebak, laki-laki itu memasang
wajah lembut saat menghapus air mata di pipinya, “Gara-gara aku ya? Maaf.”
“Sudahlah, aku akan masuk dan minta maaf
lalu pergi.”
“Kamu tunggu di sini. Aku yang akan bilang
ke mereka.”
Apa? Apa-apaan sih orang ini?!
Tidak sampai tiga menit, laki-laki itu
kembali.
Gadis itu terduduk lemas di pinggir pagar.
Tanpa gadis itu duga—lagi—laki-laki itu duduk di sampingnya.
Tidak mau bersama orang seperti itu lebih
lama, gadis itu beranjak tanpa tahu mau ke mana, tahu-tahu dia sudah berada di
tempat rahasianya.
“Ah, kamu suka datang ke sini ya?”
Apaan orang ini! Kenapa mengikutiku!?
Tidak mempedulikan laki-laki itu gadis itu
duduk di pagar pembatas dan mengayun-ayunkan kakinya yang bebas. Matanya lurus
menatap langit yang hampir berwarna jingga.
“Kamu bisa jatuh kalau duduk di situ,” ucap
laki-laki itu.
“Bukan urusanmu.”
Laki-laki itu tertawa kecil, “Akhirnya kamu
ngomong juga.”
Gadis itu mengeluarkan hape lipat dan headset
dari dalam tasnya lalu memutar musik yang ada di daftar putarnya.
Tiba-tiba laki-laki itu duduk di sampingnya
dan menarik headset sebelah kirinya.
“Kamu suka lagu ini?”
Gadis itu ingin sekali merebut kembali headsetnya
kalau dia tidak ingat itu bisa merusak headsetnya, “Jangan melakukan
sesuatu semaumu!”
“Kamu suka band ini? Aku punya semua CD
originalnya! Aku juga suka. Tapi aku paling suka track kedua di album
pertamanya.”
Ah, lagu itu? Aku juga tahu. Itu lagu yang…
Lagu yang dimaksud terputar.
“Ah iya! Lagu ini!”
Apa ini kesialanku?
“Ini ceritanya tentang si cowok selingkuh
kan? Aku pernah dengar wawancara tentang lagu ini. Katanya ini kisah nyata
penulis lagu. Jadi, si penulis lagu ini lagi dekat sama seorang cowok tapi si
cowok itu ternyata di saat yang sama sedang mendekati cewek lain.”
“Iya, semua laki-laki itu sama
brengseknya.”
“Kalau kamu ngomong begitu aku jadi
tersinggung nih. Aku ini tipe korban, diselingkuhin!”
Gadis itu menoleh, “Aku gak percaya.”
“Kalau aku sudah punya pacar buat apa aku
ikut acara begituan?”
Acara yang tadi ya? Betul juga sih…
“Kalau aku punya pacar atau seseorang yang
dekat denganku, mana mungkin aku mendekatimu.”
Gadis itu melihat lurus ke depan, matahari
sudah membuat langit berwarna jingga. Gadis itu bisa merasakan jantungnya
berdebar-debar tidak karuan dan ada sesuatu yang bergejolak dalam perutnya.
“Semua laki-laki sama brengseknya.”
“Heee… gimana kalau kita tukar nomor hape?
Nanti kamu bakal lihat kesungguhanku.”
Gadis itu tidak merespon malah menanyakan
hal lain, “Kamu masih sayang sama mantanmu?”
“Walau gak bilang putus tetap saja hubungan
kami sudah berakhir. Aku masih sayang juga kalau gak berbalas rasanya
menyesakkan.”
“Kalau dia datang dan meminta maaf?”
Laki-laki itu terdiam sesaat lalu merebut
hape di tangan gadis itu, memencet-mencet tombol lalu hape di kantung celananya
berdering.
“Itu nomorku. Aku sudah dapat nomormu.
Nanti aku hubungin. Daah!”
Begitu saja dan laki-laki itu pergi.
*
“Kamu jahat. Aku sudah kasih nomor hapeku
tapi kamu gak juga hubungin aku.”
Gadis itu kaget setengah mati karena
laki-laki yang ditemuinya tiga hari lalu sekarang ada di gerbang sekolahnya.
“Jangan mengikutiku seperti stalker.”
“Habis aku takut kamu marah kalau aku
langsung menghubungimu, jadi aku langsung menemuimu.”
“Aku marah karena kamu datang menemuiku.”
“Heee jahatnya… Eh, mau ke mana? Makan
yuk.”
“Aku mau pulang. Menjauhlah dariku. Semua
orang memperhatikan kita.”
“Kamu gak suka?”
“Aku benci.”
Tapi kenapa jantungku gak mau berdetak
normal sih?
Di sela-sela perdebatan, gadis itu bisa
mendengar bisik-bisik orang yang mereka lewati.
“Ah, cowok itu yang muncul di Majalah Cowok
Sekolah itu kan?”
“Ah iya! Kenapa dia jalan-jalan di sekitar
sini ya? Bukannya dia sekolah di Sekolah Favorit ya?”
Duh, apa peduliku sih? Kenapa pembicaraan
mereka terdengar jelas. Menyebalkan.
Tiba-tiba gadis itu berhenti, “Kalau aku
mau makan sama kamu, apa kamu akan berhenti mengikutiku?”
“Aku gak akan mengikutimu sampai ke rumahmu
kalau kamu mau makan sama aku.”
“Oke.”
*
Keesokan harinya…
“Kamu bilang gak akan mengikutiku kan?”
“Masa aku bilang begitu kemarin?”
Gadis itu menghentakkan kakinya
lebar-lebar.
“Ayo temani aku makan lagi.”
Aku gak akan tertipu lagi.
Tiba-tiba hape laki-laki itu berdering.
“Halo? Sekarang? Oke, aku ke sana
sekarang.”
Setelah menutup telepon laki-laki itu
tersenyum, “Nanti malam aku hubungin kamu. Dah!”
Gak juga gak apa…
“Gak juga gak apa…”
Tapi kenapa aku terus mandangin hape
begini?
Gadis itu melempar hape ke tempat tidur dan
mencoba fokus pada buku pelajarannya.
Tiba-tiba hapenya berdering, secepat kilat
dia meraih hapenya yang terlempar ke pojok. Setelah mengetahui siapa yang
mengiriminya pesan, gadis itu menghela napas. Itu adalah pesan dari operator.
Gadis itu kecewa dan kali ini betul-betul
fokus pada buku pelajaran di depannya.
*
“Hei! Kamu jahat banget sih? Aku kirim
pesan gak kamu balas.”
Lagi, gadis itu kaget sampai rasanya
jantungnya berhenti berdetak.
“Kenapa kamu di sini?”
“Kamu gak balas pesanku.”
Gadis itu mengambil hape dari dalam tasnya
dan mengeceknya. Tadi pagi, karena bangun kesiangan, dia tidak sempat melihat
hape, bahkan hapenya hampir tertinggal. Ada, tapi…
“Kamu gila? Memang kamu pikir siapa yang
bakal balas kalau kamu kirim jam tiga pagi?”
“Jadi, kamu berencana balas pesanku?
Senangnya!”
Sadar salah bicara gadis itu melangkah
lebar-lebar.
“Mau ke mana?”
“Bukan urusanmu.”
“Mau ke tempat itu lagi?”
“Iya,” entah kenapa gadis itu ingin
berbicara dengan laki-laki itu.
“Bukan untuk bunuh diri kan?”
Gadis itu tidak menjawab dan memilih tetap
melangkahkan kakinya lebar-lebar.
“Kamu sudah makan?”
Siapa? Siapa yang nanya itu? Kenapa
suaranya mirip suaraku? Di jalan ini kan cuma ada aku sama dia?
“Kamu nanya aku? Senangnya…!”
“Gak. Kamu salah dengar,” ucap gadis itu
cepat.
Di perjalanan menuju tempat rahasianya, ada
sebuah toko serba ada, gadis itu masuk ke dalam toko dan membeli beberapa
camilan dan minuman.
Lagi, gadis itu duduk di pagar pembatas.
“Kenapa kamu suka betul duduk di situ sih?
Kalau jatuh gimana?”
“Jatuh ya jatuh.”
“Nanti pasti orang-orang khawatir kalau
kamu jatuh, bodoh.”
“Gak bakal ada yang khawatir.”
Tunggu. Kayaknya yang begini pernah terjadi
sebelumnya. Saat…
Gadis itu kaget sampai hilang keseimbangan
dan hampir jatuh kalau bukan karena badannya ditahan laki-laki itu.
“Kamu ini kenapa sih?!”
“Gak, gak apa.”
“Sudah aku bilang jangan duduk di pagar
kan?”
“Iya.” Ajaib, gadis itu menurut dan duduk
di samping laki-laki itu.
“Kalau dari sini memang sedikit kehalang
pagar sih, tapi indahnya gak berkurang malah terlihat misterius kan?
Mataharinya cantik.”
Gadis itu terperangah dan memandangi
laki-laki itu beberapa saat.
“Kenapa lihatin aku begitu? Suka aku ya? Kalau
gitu kita pacaran ya sekarang!”
Kalimat itu tidak terdengar seperti sebuah
pertanyaan. Tapi, entah kenapa gadis itu tidak berniat membantah.
*
“Lagi apa?” tanya gadis itu di telepon.
“Lagi kerja nih, maaf ya gak bisa jemput
kamu pulang,” gadis itu bisa mendengar suara laki-laki itu di telepon,
pacarnya.
“Iya gak apa-apa. Kalau begitu aku tutup
ya, dah.”
Sebelum ditutup gadis itu sempat mendengar,
“Aku kangen, nanti malam aku telepon kamu.”
Sejak kapan dia kerja?
Sambil menunggu telepon yang dijanjikan,
gadis itu mendengarkan lagu di daftar putarnya. Sampai matanya tertutup tanpa
dia sadar, hapenya tidak juga berdering.
Gadis itu terbangun kaget saat jam dua
pagi. Buru-buru dilihatnya layar hape, tidak ada. Tidak ada daftar panggilan
masuk ataupun pesan.
Tiba-tiba lembur ya?
*
Merasa perasaannya tidak enak, gadis itu
datang ke sekolah laki-laki itu, pacarnya.
Gadis itu menunggu di gerbang dan meneliti
satu-satu siswa sekolah itu yang lewat. terdengar pembicaraan gadis seumurannya
yang lewat.
“Dia balikan sama pacarnya ya?”
“Dia? Yang masuk Majalah Cowok SMA bulan
kemarin?”
“Iya, pacarnya juga masuk Majalah Cewek
SMA.”
“Ah, irinya mereka sangat serasi!”
“Iya aku iri.”
Gadis itu menguatkan hati dan merapel
mantra ‘bukan dia yang mereka bicarakan’ berkali-kali. Lagi-lagi saat dua gadis
lewat di depannya dia mendengar pembicaraan mereka.
“Dia?”
“Iya dia! Katanya dia sudah melakukan ‘itu’
sama pacarnya yang juga masuk Majalah Cewek SMA.”
“Ah, pasti gak nyesel ya melakukan ‘itu’.
Sama-sama populer sih.”
“Haha, dasar kamu gila. Mana ada yang
begitu.”
“Tapi, kalau sama dia, cowok seganteng itu
siapa yang gak mau?”
“Walau akhirnya dikhianatin?”
Gadis itu tidak mendengar lagi lanjutan
percakapan mereka. Tidak mau dengar. Dengan perasaan tidak menentu gadis itu
berjalan lunglai karena sekolah mulai sepi, siswa yang lewat semakin sedikit.
Gadis itu memutuskan untuk mengunjungi
temannya yang bekerja di dekat situ.
“Di mana tempatnya? Ah, aku lagi di depan
SMA Favorit. Oh, lurus, iya. Ke kanan? Iya. Ah iya aku lihat kafenya,” ucap
gadis itu di telepon sambil mengikuti petunjuk yang dikatakan temannya di
telepon.
Gadis itu melambaikan tangan pada seorang
gadis seusianya.
“Lama gak ketemu kamu makin cantik.”
Gadis itu menyangkal dengan melambaikan
tangan. Saat dirinya diajak masuk ke kafe, sudut matanya melihat seseorang yang
dia kenal memasuki sebuah gedung yang tampak seperti hotel bintang dua di
matanya.
“Itu tempat apa?” tanya gadis itu pada
temannya.
“Hotel itu? Kenapa kamu mau tahu?”
“Gak, kayaknya aku lihat temanku masuk ke
situ.”
“Ah, betul juga. Kamu harus pastikan dia
temanmu atau bukan. Itu bukan tempat baik. Hmm kamu tahu maksudku kan? Maksudku
cowok sama cewek yang bahkan belum…”
Belum sempat temannya selesai menjelaskan
gadis itu sudah pergi, “Maaf aku ada urusan mendadak.”
Gadis itu mengeluarkan jaket dari dalam
tasnya dan memakainya dengan cepat. Gadis itu berjalan cepat memasuki gedung
yang tadi dia bicarakan, tidak mau kehilangan jejak orang yang dia lihat tadi.
Di matanya, dia melihat pria itu memeluk
mesra seorang gadis, pun sebaliknya.
Gadis itu mengeluarkan hape dari tasnya dan
menekan beberapa tombol lalu menempelkannya di telinga.
“Halo?”
Gadis itu melihat laki-laki itu menempelkan
hape di telinga lalu mendengar suaranya di speaker, “Halo? Ah, maaf aku lagi
sibuk sekarang. Aku tutup ya?”
Belum sempat gadis itu mengiyakan, telepon
sudah ditutup.
“Semua cowok sama brengseknya.”
*
Entah sudah berapa hari terlewat sejak
kejadian itu. Tidak ada satu kali pun laki-laki itu menghubunginya. Gadis itu
juga tidak mencoba menghubungi laki-laki itu lagi.
Gadis itu menghela napas dengan berat.
Matanya menatap lurus langit berwarna jingga dan matahari yang sudah tersisa
setengah.
Tiba-tiba pandangannya menghitam, sepasang
tangan menutup pandangannya.
“Lepas!” ucap gadis itu tidak suka.
Tidak suka pandangnnya dihalangi terlebih
oleh tangan orang yang tidak ingin dia temui.
“Hee kenapa ketus begitu?” laki-laki itu
melepas tangannya dan ikut duduk di pagar.
Gadis itu tidak menjawab dan tidak
menghiraukan keberadaan laki-laki itu.
“Sudah dibilangin jangan duduk di sini
nanti kamu bisa jatuh loh.”
“Hee kamu marah ya gara-gara gak aku
hubungin semingguan ini? Kamu juga gak hubungin aku. Aku pikir kamu sibuk jadi
aku gak mau ganggu.”
Masih, gadis itu tidak menghiraukan dan
hanya berfokus pada musik yang berdentum di telinganya sambil mengunyah keripik
kentang.
“Kenapa gak jawab sih?” ucap laki-laki itu
sedikit kesal sambil melepas headset di telinga gadis itu.
“Kembalikan,” ucap gadis itu datar tidak
mengalihkan pandangannya dari langit di depan matanya.
“Akhirnya kamu ngomong juga.”
“Berisik,” ucap gadis itu sambil melepas jack
headset dari hapenya dan mematikan lagu yang sedang dimainkan.
Setelah mengatakan itu gadis itu beranjak
tapi tangan laki-laki itu menarik tangan gadis itu membuat gadis itu terduduk
kembali.
“Kamu kenapa sih?!”
“Entahlah. Aku cuma berpikir semua
laki-laki itu sama brengseknya.”
Lagi, gadis itu beranjak tapi lagi-lagi
tangan gadis itu ditarik laki-laki itu. Tapi, keseimbangan gadis itu hilang,
kakinya terpeleset dan jatuh.
Laki-laki itu bisa melihat tubuh gadis itu
yang jatuh terporosok di lereng dan menghantam beberapa batu juga batang pohon.
Tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan takut, laki-laki itu lari dari
tempat itu.
Gadis itu meringis kesakitan di tanah.
Tidak ada yang parah, semua tulangnya baik-baik saja, luka di sekujur tubuhnya
tidak terasa. Yang sakit adalah hatinya. Gadis itu melihat laki-laki itu pergi
meninggalkannya, bukannya menolong dirinya.
Gadis itu berusaha berdiri dan berjalan.
Dikeluarkannya headset cadangan dari dalam tasnya dan diputar lagu-lagu
di daftar putarnya. Entah kesialan apa, lagu yang pertama terputar adalah track
kedua dari album pertama band kesukaannya.
“Semua laki-laki sama brengseknya.”
*
Biasanya, gadis itu akan terkejut saat
melihat laki-laki itu di depan gerbang sekolahnya tapi tidak kali ini.
“Gimana lukamu?”
“Entahlah. Bisa kamu kembalikan headsetku?
Kemarin aku kembali ke atas dan headsetku gak ada artinya kamu yang
bawa.”
Laki-laki itu menyerahkan bungkusan yang
sejak tadi dia pegang, “Maaf, aku…”
“Terima kasih,” ucap gadis itu sambil
mengeluarkan hape dari dalam tasnya. Gadis itu mengeluarkan headset dari
bungkusan yang diberi laki-laki itu dan memasangnya di kepalanya.
“Kemarin…”
Gadis itu menghela napas berat dan mulai
berjalan.
“Semua laki-laki sama brengseknya ya?”
“Aku…”
“Gak ada yang perlu kamu jelaskan. Aku tahu
semuanya.”
“Aku… maaf.”
“Kalau aku bilang ‘aku benci kamu’, apa
kamu akan berhenti mengikutiku?”
Laki-laki itu berhenti berjalan, tidak
percaya dengan apa yang dia dengar, tapi gadis itu tidak peduli dan terus
berjalan dengan menyeret kakinya.
Gadis itu merasakan hatinya semakin panas.
Laki-laki yang seharusnya dia sebut ‘ayah’ pergi meninggalkan ibunya,
membiarkan ibunya membesarkan dirinya
sendirian.
Mungkin, tidak akan lagi laki-laki dalam
hidupnya. Tidak akan lagi ada cinta di hatinya. Mungkin lebih baik dia mati.
Tapi, bagaimana dengan ibunya kalau dia mati? Bagaimana bisa mati hanya karena
masalah seperti ini? Tapi, jauh di dalam hatinya dia tidak ingin tidak percaya
cinta.
Gadis itu masih berharap akan datangnya
cinta untuknya. Tapi, kali ini harapan itu dia simpan dalam kotak kecil di
sudut hatinya.
*^*
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
write your comment here...