ja, namanya, Nara Andina Rahmadanis. Setelah keluar dari ruangan, kami banyak berbincang. Ternyata banyak hal yang mengejutkan, tanggal ulang tahun kami sama, yaitu 7 November 1991. kami punya hobi yang sama, dan hal-hal lain yang banyak kesamaan. Kami cocok seperti anak kembar, bahkan anak kembar belum tentu secocok dan sekompak kami.
7 November 2005, 14 tahun. Ulang tahun pertama kami. Kami merayakan berdua dengan pesta kecil di sebuah taman, tapi aku mengacaukan acara kami, aku tertidur saat sampai. Naras agak marah tapi dia mau mengerti. Aku sendiri tak tau kenapa aku bisa tertidur padahal aku sangat bersemangat sebelumya. Dan kami berjanji untuk masuk ke SMA yang sama karena kami punya cita-cita yang sama. Sambil memimpikan hal itu, kami melewati hari demi hari di masa SMP dengan suka duka bersama.
Masa SMA dimulai…
Saat pembagian kelas aku sekelas dengan Naras, aku senang sekali. Tapi, kebahagian tidak selalu disertai dengan kebahagiaan juga, aku tidak bisa duduk sebangku dengan Naras, karena tempat duduk diatur oleh wali kelas kami, dan aku duduk tepat dibelakang Naras dan paling belakang duduk sendirian. “Oooo….. sedihnya….”, rengekku dalam hati. Aku dan Naras yang selalu kompak mendapat julukan “kembar” oleh teman-teman sekelas.
2 bulan kemudian...
Ada anak baru dikelasku, dia seorang cowok cakep namanya Ryo Prasetyo. “Wooooow”, cewek-cewek di kelasku seperti paduan suara, juga Naras. Aku hanya bisa kagum dalam hati. Jantungku berdegup kencang, sangat kencang, semakin kencang. Ryo menuju arahku dan duduk di sampingku. “Dug…dig…dug”, suara jantungku dapat kurasakan, terdengar begitu nyaring di telingaku. “Oooh, semoga teman-temanku tetap ribut karena suara jantungku bisa terdengar. Aku pasti diledek habis-habisan oleh teman-teman cowok di kelasku. “Ternyata Nara bisa jatuh cinta juga ya?” atau “hai Naras?! Kembaranmu sedang Falling in Love tu!”, begitu. “Uuuuh, kan bisa malu banget.”, Begitu pikirku.
Istirahat…
“Mmmm….. Nara, kamu sama Naras kok bisa dipanggil “kembar” sih?”, pertanyaan dari
Ryo membuka pembicaraan kami di kantin.
“Ah, eh? Kenapa ya?”, aku bingung menjawab, aku tak tahu harus jawab apa.
“Karena kami punya kepribadian, hobi, dan banyak hal dari kami yang sama dan kami cocok deh…”,sambung Naras, merangkul aku dan melanjutkan kata-katanya. “Ah… Nara pura-pura lupa, lagi?”, sambil tertawa.
“Ah, iya ya? Emang begitu ya?” tanyaku bingung.
“Iya kayak begitu, Ah…! Nara kenapa bisa lupa sih?”, Naras mengomel dengan nada agak tinggi.
“Ah… maaf.”
“Sudah, sudah jangan bertengkar dong kayak anak kecil aja.”, dengan wajah yang agak bersalah.
“Kalau pertemuan kalian gimana?”, melanjutkan pertanyaan, lalu minum es jeruk yang tinggal setengah gelas.
“Nara, ayo jawab jangan sampai lupa ya? Awas loh kalau lupa!”, dengan nada agak marah.
“Ah, iya, tapi, gimana kita bertemu pertama kali?”, tanyaku bingung, lalu menoleh ke arah Naras.
“Kok?! bisa lupa sih? Kita bertemu pertama kali kan waktu SMP di ruang tunggu!”, kali ini benar-benar marah.
“Maaf, aku benar-benar tak ingat.”, memegang kepala berusaha mengingat.
“Sudah, sudah. Ini salahku kalian jangan berantem dong.”, berusaha melerai aku dan Naras.
“Ah! Ini bukan salah Ryo kok?!”, dengan spontan Naras langsung berdiri.
“Kita ganti topik aja ya?”, berusaha mengganti suasana.
Tapi bel masuk berbunyi mendahului kami berbicara.
Di rumah Nara malam hari…
“Aku….”, “Aku, kenapa ya?..... kenapa bisa lupa?”, berpikir dalam hati lalu diutarakan lewat mulut.
Untuk tetap mengingat aku menulisnya di sebuah buku, agar tidak lupa lagi. Aku tertidur di meja belajar, entah kenapa rasanya mengantuk sekali.
Keesokan paginya…
Aku dijemput Naras seperti bisaanya. Saat menyeberang jalan ada paengendara yang menerobos lampu hijau dengan kencang menuju arahku, dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Saat aku sadar aku terbaring di tempat tidur, dengan kepala, tangan kanan diperban, dan kaki yang lecet. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi padaku, “ah iya aku ingat, saat menyeberang ada pengendara sepeda motor yang menerobos lampu hijau.”, ingatku.
Dan aku melihat jam yang tertempel di dinding, jam menunjukkan pukul 10.14. aku teringat sesuatu. “Oh ya! Aku ada ulangan kimia dan fisika, masih sempat kalau aku pergi sekarang.”, pikrku. Aku beres-beres, dan berjalan di sebuah lorong. Aku mendengar suara yang tak asing di telingaku, “itu suara orang tuaku.”. aku yang ingin menyapa mereka ternyata aku mendengar suara tangisan ibuku. Pintu yang tidak ditutup rapat itu, aku bisa mendengar yang mereka bicarakan. Kata dokter aku terserang penyakit yang mengambil ingatanku sedikit demi sedikit yang juga akan mengambil nyawaku. Aku tersentak kaget, pandanganku kosong. “Waktu yang tersisa hanya 3 bulan sampai 6 bulan, kesempatan untuk dioerasi hanya 2% kalau operasinya gagal hanya akan bisa bertahan sekitar 1 bulan. Dan anak Anda akan terus semakin kehilangan ingatan dengan kondisi saat ini.”, kata dokter. Aku bingung, aku terduduk dengan air mata yang menetes dan membasahi pipi. Aku hanya bisa mendengar pembicaraan mereka. Sampai terdengar suara pintu yang berat bergeser, “krieeeet”. Aku hanya bisa mengeluarkan air mata. Orang tuaku berdiri dihadapanku, lalu duduk dan memelukku. Memelukku dengan erat. Aku dengan air mata yang terus mengalir berkata “Aku akan tetap hidup. Ya kan bu?”, kata-kata yang kukeluarkan untuk menyemangati orang tuaku dan aku sendiri. Ibu melepas pelukannya.
“Ibu, aku akan tetap hidup kan? Ya kan bu? Aku harus bisa bertahan kan?”, aku bertanya dengan tersenyum yang agak dipaksa dan mata yang terus mengeluarkan air mata.
“Tentu Nara akan tetap hidup, Nara harus tetap semangat.”, ibu menyemangatiku.
“Nara pasti bisa tetap hidup, karena itu jangan putus asa.”, ayah juga memberi dorongan semangat.
Aku yang mengetahui penyakitku, dan keadaanku saat ini, hanya bisa menulis kengangan-kenangan yang masih tersisa, dan apa yang aku alami satu hari.
Keesokan paginya di gerbang sekolah….
Hari ini kami berangkat sendiri-sendiri. “Nara, sudah tak apa?”, Tanya Naras cemas.
“Ah, iya aku baik-baik saja.”, sambil berjalan menuju kelas.
“Oh ya?! Aku senang banget, kemarin aku seharian dirumah Ryo belajar bareng.”, menjelaskan dengan peragaan. Naras yang menyadari aku tak disampingnya dan tidak mendengarkannya bicara, Naras membalikkan badan dengan muka yang cemberut.
“Ah….! Nara dengerin gak sih?, mengomel.
“Ah, maaf.”, sambil terus melanjutkan ceritanya kami menuju kelas. Aku berpikir, “Sepertinya Ryo lebih senang dengan Naras, dan terlihat lebih bahagia. Aku akan melupakan Ryo demi Naras dan Ryo.”
Berhari-hari aku terpuruk dalam kesedihan, kebingungan dan kebimbangan. Aku belum bisa memutuskan. Apa yang harus kuputuskan? Aku takut salah mengambil keputusan. Hingga suatu malam aku putuskan dan membicrakan dengan orang tuaku, aku senang mereka mau mengerti dan mendukung keputusanku. Keputusan untuk operasi, walau hanya 2%. Mungkin operasinya lusa.
Keesokannya, Naras bilang mau ungkapkan perasaan pada Ryo besok, sepulang sekolah. Aku hanya bisa memberi dukunagn. Aku tidak memberi tahu keadaanku ini pada teman-teman sekalipun Naras. Karena aku tak mau membuat kawatir apalagi Naras.
Hari ini adalah hari operasiku, aku takut ini akan gagal dan terus berharap ini akan berhasil. Jam 14.15 sekarang aku sedang menjalani operasi,dan waktu pulang sekolah. Waktu Naras menyatakan perasaan pada Ryo. Kami sedang deg-degan karena sedang menunggu sebuah kepastian.
Setelah beberapa jam…
Aku tersadar, aku tak tahu apakah operasi ini berhasil atau …gagal. Aku melihat sekelilingku, ayah, ibu, dan ….. Naras? Kenapa ada di sini? Harusnya bersama Ryo, dan…bahagia. Tapi sekarang bukan itu masalahnya, aku ingin tahu hasilnya. “I…Ibu, ….a…a….ayah…”aku ucapkan dengan terbata. Dengan wajah yang masih basah dengan air mata dan mata yang masih berkaca, mereka menuju arahku. Sepertinya aku tahu jawaban dari pertanyaanku tadi, tanpa diberi tahu. Orang tuaku yang tak tahan menahan tangis, berlari keluar dan menangis di luar. Lalu aku bertanya pada Naras.
“Gimana?”, tanyaku penuh penasaran.
“Ditolak.”, dengan santainya Naras menjawab.
“Kenapa?”, aku bingung.
“Yaaaa, karena dia sudah punya pacar.”, jelas Naras.
Kami tertawa hingga Naras mengeluarkan air mata dan menangis.
“Kenapa? Kenapa tak bilang kalau sakit? Kan sudah janji untuk tidak merahasiakan.”
“Maaf, aku tak ingin buat kamu cemas.”, dengan perasaan yang penuh bersalah. Aku dan Naras berpelukan.
Dan aku menyadari, waktuku, tinggal sedikit, dan semakin menipis. Aku hanya ingin bertahan sampai 7 November, ulang tahun kami bersama yang kedua.
Aku bisa bertahan, sekarang 7 November, dan kami berusia 15 tahun. Kami merayakan di taman favorit kami. Sampai di sana aku lelah, aku duduk dikursi, dan tertidur di bahu Naras yang sedang mendengar MP3. Naras membalikkan badan karena ingin aku mendengar lagu kesukaan kami. Aku yang sudah tertidur, tertidur untuk selamanya tahu apa reaksi Naras, pasti dia kaget, sedih, dan menangis. Juga orang tuaku yang pasti juga menangis.
hhe, nih pasti kamu tulis pas sma yah nyak???
BalasHapusSEMANGAT buat novelmu yah mamen,hhe
ahaha iya. anak eSeMAa banget yaa... hahaha... udah jadi novelku. baca yaa ntar... masukan...biar ceritanya lebih menarik.. :P
BalasHapus