24 Februari 2014

You are The Person I Like The Most (side story 1)


udah baca yang ini sama ini belum?

Judul : You are the Person I Like the Most Side Story 1 : Pertemuan (bukan) yang Pertama
Length : oneshoot
Genre : masih sama sama yang sebelumnya
Penulis : masih yang punya blog ini

You are the Person I Like the Most

Side story: Pertemuan (bukan) yang Pertama

“Aku harus hemat. Harus hemat!”

Mawar berjalan gontai menuju kosnya yang reot. Kos termurah yang ada.

Mawar datang ke kota untuk bisa sekolah di SMA yang berkualitas. Dia berpikir, dia tidak akan bisa maju kalau tetap berada di desa. Jadi, dengan sedikit mendesak orang tuanya, dia diijinkan dengan syarat-syarat tertentu.

Syaratnya adalah masuk ke SMA Karya Bangsa. Sekolah ini akan memberikan gratis biaya sekolah sampai lulus untuk peringkat pertama ujian masuk. Syarat kedua adalah tidak ada uang bulanan kecuali uang kos. Jadi, Mawar mencari kos termurah yang pernah ada sehingga dia punya uang lebih dari uang kos yang diberikan orang tuanya.

Sebelumnya, selama satu bulan lalu, Mawar bekerja di sebuah kafe sebagai pelayan dengan menyamarkan umur tentunya. Tapi, akhirnya ketahuan saat dia ceroboh meletakkan dompetnya sembarangan. Kecerobohannya itu muncul karena pemikiran siapa juga yang mau mengambil dompet tanpa uang sepeser pun di dalamnya. Lalu, manajer menemukan kartu pelajar miliknya. Keesokan harinya dia langsung diberi gaji selama bekerja.

Sekarang, Mawar benar-benar harus mencari pekerjaan baru.

“Haaaa???!!!”

Mawar langsung berlari cepat ke arah selebaran yang tertempael di tiang listrik.

Guru les privat. Les privat.

Tanpa pikir panjang, Mawar langsung pergi ke alamat yang tertulis di selebaran itu karena Mawar tidak memiliki hape. Di jaman seperti sekarang.

Setelah menunggu selama lima menit, pintu pagar dibukakan oleh satpam yang tadi sedikit menginterogasinya karena tidak percaya dengan penampilan Mawar yang mengaku melamar sebagai guru les privat.

Mawar diantar satpam itu sampai ke ruang tamu.

Betul-betul rumah yang besar.

Satpam tadi kembali bekerja setelah menyilakan Mawar duduk.

Seorang laki-laki awal empat puluh tahun menuruni tangga yang terlihat seperti di istana yang dia lihat di buku cerita bergambar saat SD.

“Oh, jadi kamu,” ucap laki-laki itu dengan pandangan meremehkan.

“Iya,” jawab Mawar sambil tersenyum sopan.

“Banyak guru sebelumnya yang sangat pandai mengundurkan diri di hari pertama mengajar. Apa kamu bisa?”

Di hari pertama mengajar? Anak itu sebandel apa sih? Atau sebodok apa sampai-sampai mengundurkan diri di hari pertama mengajar.

“Maksudnya?”

“Aku akan mengetes kemampuanmu terlebih dulu.”

“Kalau Anda begitu pintar kenapa tidak mengajarkan anak ini sendiri?”

Laki-laki itu mengeraskan wajahnya tidak suka.

Apa dia sendiri merasa gak mampu ya terhadap anaknya sendiri?

“Iya,” jawab Mawar tetap dengan senyumnya.

Laki-laki itu membawa Mawar ke sebuah ruangan yang banyak sekali buku di dalamnya. Mawar menebaknya sebagai perpustakaan pribadi.

Di dekat jendela ada sebuah meja ukuran sedang dan kursi. Di atasnya terdapat beberapa tumpukan kertas.

“Itu soal-soal yang harus kamu selesaikan dalam waktu dua jam. Kamu tinggalkan saja kalau sudah dua jam. Aku akan memberi kabar besok. Oh sekalian tinggalkan juga nomor hapemu.”

Mata Mawar berbinar-binar. Sudah lama dia tidak merasa berdebar-debar saat melihat soal-soal seperti ini.

“Saya tidak punya hape,” jawab Mawar polos.

“Apa? Di jaman seperti sekarang?”

“Karena saya tidak punya uang makanya saya kerja sambilan.”

“Baiklah. Kamu datang saja ke sini besok pagi jam delapan.”

“Tapi, saya harus ke sekolah besok.”

“Kamu masih sekolah?”

“Iya, di SMA Karya Bakti. Ini seragam masih saya pakai.”

Laki-laki itu terdiam. Dia tidak pernah mendengar nama anak ini disebut-sebut atau fotonya muncul di meja kerjanya saat guru-guru merekomendasikan nama anak-anak yang akan ikut olimpiade.

“Baiklah, aku yang akan mendatangi ke sekolahmu.”

“He? Apa tidak masalah?”

“Harusnya kamu tahu siapa pejabat-pejabat di sekolahmu.”

Mawar terdiam sebentar, “Habisnya, saya tidak berpikir akan bertemu langsung dengan orang-orang penting seperti itu, jadi saya tidak mencari tahu.”

Gantian, laki-laki itu yang terdiam dengan alasan Mawar.

“Oh, boleh saya kerjakan sekarang? Saya sudah tidak sabar, lagi pula anak SMA dilarang pulang lewat jam enam sore di kos saya. Perlu waktu tiga puluh menit jalan kaki dari sini sampai kos. Saya harus menyelesaikan dengan cepat. Kalau tidak saya harus tidur di luar.”

Laki-laki itu masih saja terdiam membuat Mawar bingung.

“Di luar?” tanya laki-laki itu gak percaya.

“Artinya di halte bus. Boleh dikerjakan sekarang?” tanya Mawar gemas.

Wajah laki-laki itu mengeras.

“Artinya kamu akan menyelesaikan semua soal itu dalam waktu satu jam?”

Sekarang jam di dinding menunjukkan jam setengah lima sore.

“Iya, makanya saya perlu persetujuan Anda dengan cepat.”

“Baiklah, silakan kerjakan.”

Mawar langsung membolak-balik soal tiap mata pelajaran yang ada dengan cepat lalu menuliskan jawaban di kertas jawaban.

Laki-laki itu melihat dengan takjub lalu meninggalkannya keluar dari ruangan itu. Berbisik pada salah satu pelayan untuk mengawasi dan berbisik pada pelayan lainnya untuk memberi camilan.

“Apa dia cuma berlagak hebat ya? Sama sekali gak menjanjikan.”

Sudah tiga puluh menit berlalu. Laki-laki itu kembali dengan pakaian rapi.

“Tuan akan pergi sekarang?” tanya pelayan yang diberi tugas mengawasi Mawar.

“Iya, bagaimana dengan anak itu?”

“Dia makan dengan lahap.”

“Bukan itu.”

“Ah, iya maafkan saya. Dia mengerjakannya tanpa beranjak dari kursi. Dia terlihat sangat serius meski selalu mengunyah makanan.”

“Selesai!”

Kedua orang itu menoleh dengan cepat ke sumber suara yang ada di balik pintu. Laki-laki paruh baya itu membuka pintu dengan buru-buru mendatangi Mawar.

“Sudah selesai, Pak. Maaf saya menghabiskan banyak makanan,” ucap Mawar tulus tapi karena malu ketahuan makan banyak dia tertawa kecil.

Laki-laki itu membolak-balik kertas jawaban Mawar dan melihat sekilas semua jawaban, terlihat menjanjikan.

Laki-laki itu tertawa senang, “Apa kamu mau pulang sekarang?” laki-laki itu berniat membatalkan acara makan malamnya bersama klien dan mengajak Mawar makan malam bersama kedua anaknya.

“Iya. Seperti yang saya bilang, kalau saya tidak pulang sekarang bisa-bisa saya tidur di halte bus.”

“Sekarang kan masih jam lima sore?”

“Tapi kalau saya pulang sekarang, saya tidak perlu jalan terburu-buru.”

Sepertinya laki-laki itu harus menyerah pada keinginannya, tapi dia seperti mendapat pencerahan di dalam kegelapan, “Kebetulan saya akan pergi, mau saya antar?”

“Tuan?”

Laki-laki itu melambaikan tangannya menyuruh pelayannya tidak ikut campur.

“Boleh?”

“Tentu saja. Daripada harus jalan kaki?”

Mawar tersenyum senang.

“Apa masih jauh?”

Mawar sedikit berpikir, “Tidak terlalu jauh kok.”

“Sudah satu kilometer setengah dan rasanya jarak ini jauh dari sekolahmu?”

Mawar tertawa kecil, “Saya harus mencari kos yang murah walau memakan tiga puluh menit ke sekolah.”

“Anak yang malang,” ucap laki-laki itu dengan suara kecil tapi Mawar bisa mendengarnya.

“Tidak masalah. Saya  berpikir ini sebagai olahraga.”

Laki-laki itu tertawa sambil mengelus kepala Mawar. Mawar tertawa senang.

“Ah, sampai! Di depan situ. Sampai di sini saja. Masih harus masuk ke dalam gang,” ucap Mawar senang. Dia sangat berterima kasih.

“Oh, baiklah…”

Tiba-tiba saja laki-laki itu memegang dadanya dan mengerang kesakitan saat akan menutup kaca mobil.

“Tuan, tuan?! Apa Anda baik-baik saja?” tanya supir panik.

Mawar langsung panik, “Eh, ah… Anda tidak apa-apa Pak?! Aduh, aduh…”

Mawar tidak jadi pergi dan malah kembali masuk ke dalam mobil.

“Rumah sakit. Ke rumah sakit, Pak!” ucap Mawar panik kepada supir.

Mawar terus komat-kamit sambil memegang tangan laki-laki itu. Bagi Mawar, rasanya perjalanan ke rumah sakit ini terasa panjang.

“Pak, ayo dipercepat,” pinta Mawar pada supir.

Mawar takut terjadi apa-apa pada laki-laki yang sudah baik mengantarnya pulang. Bahkan kalau dia harus tidur di halte malam ini, itu bukan masalah.

“Tapi, ini macetnya panjang Non.”

Mereka sekarang berada di jalan utama. Saat seperti ini memang akan macet karena ini adalah jam pulang kerja.

“Uh! Tolong buka kunci mobilnya.”

“Nona mau ke mana?”

“Sudah buka aja!” kata Mawar panik sampai meninggikan suara.

Setelah bunyi klik, Mawar membuka pintu mobil dan menggendong laki-laki itu di punggungnya dan berlari ke arah rumah sakit.

“Bapak langsung ke rumah sakit ya kalau sudah gak macet lagi!”

Begitu pesan yang Mawar tinggalkan lalu pergi. Sama sekali tidak membiarkan si supir berbicara dan hanya memandang kepergian Mawar dengan ekspresi sulit ditebak.

“Dokter! Dokter! Saya butuh dokter!” teriak Mawar begitu sampai di pintu rumah sakit.

Salah satu perawat yang mengenali wajah laki-laki yang digendong Mawar dengan sigap mengambil tempat tidur dorong dan memanggil teman-temannya lalu membawanya ke UGD.

“Anda tunggu di sini saja, Mbak.”

“Iya,” ucap Mawar nyaris tanpa suara.

Mawar betul-betul tidak ingat bernapas dan hanya mondar-mandir di depan pintu.

Dua puluh menit kemudian supir yang tadi datang bersama dua orang anak laki-laki—satu seumuran dengannya, satu lagi sepertinya masih SD—dan seorang wanita paruh baya yang Mawar tebak sebagai istrinya.

Wanita itu langsung mendatangi dokter yang keluar dari UGD karena saat itu lampu informasi menunjukkan penanganan selesai.

“Dok, bagaimana keadaan suami saya?”

“Suami Nyonya baik-baik saja. Dia bekerja terlalu keras. Saya sudah pernah bilang untuk menyuruhnya berhenti bekerja, kan?”

Keempat orang yang baru datang itu hanya bisa diam.

“Oh iya, berterima kasihlah pada Nona ini. Kalau saja tadi terlambat lima menit saja, saya sendiri tidak yakin pada kemampuan saya.”

Dokter itu tersenyum lembut pada Mawar yang sudah terduduk lemas karena bersyukur laki-laki itu baik-baik saja.

“Nyonya bisa ikut dengan saya?”

“Oh, eh. Iya.”

“Tidak usah khawatir, besok, Tuan Rengga sudah bisa pindah ke ruang biasa.”

Ekspresi tegang keempat orang itu langsung memudar.

“Reza, tunggu di sini sama Kakak ya? Mama mau ngobrol dulu sama Dokter.”

“Tapi, Reza lapar Ma…”

“Astaga, sudah hampir jam enam ya? Kalau gitu pergi ke kantin sama Kakak ya?” ucap wanita itu lalu beralih ke anak laki-laki yang lebih tua, “Rendi, ajak adikmu makan.”

Setelah berbicara seperti itu, wanita itu pergi berjalan mengikuti Dokter. Anak kecil itu memandang Mawar sengit selama beberapa detik lalu mendengus kesal.

Apa-apaan anak kecil ini?!

Anak itu menarik-narik tangan kakaknya yang tidak juga melepas pandangannya dari Mawar.

Eh… EEHHHH?! Jam berapa Ibu itu tadi bilang?!!

“Astaga!” Mawar menepuk jidatnya putus asa.

“Kakak, ayo pergi makan. Aku lapar.”

“Oh, iya.”

Mereka berdua pergi tersisa supir yang masih berdiri di situ.

“Nona, terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawa Tuan saya.”

Mawar merasa bingung karena supir itu hampir menangis padahal dia seorang laki-laki.

“Eh, iya. Gak apa, Pak. Kalau begitu saya pamit pulang dulu,” ucap Mawar.

Mawar kembali berjalan gontai begitu keluar rumah sakit. Sudah tidak ada harapan kalau mau kembali ke kos.

“Lebih baik aku jalan-jalan saja dulu!” ucap Mawar riang berusaha menghapus kekecewaannya.

“Kenapa aku sedih begini sih? Padahal baru saja menolong orang.”

Keesokan harinya Mawar datang ke sekolah lebih awal karena dia memilih tidur di halte dekat sekolah. Dia curi-curi ke klub Basket karena di situ ada kamar mandinya.

“Maaf ya, aku numpang mandi diam-diam begini,” ucap Mawar sambil berbisik pada setiap benda yang ada di ruangan itu.

Mawar mandi secepat yang dia bisa.

“Dari mana kamu punya handuk itu?”

Pertanyaan itu membuat Mawar terlonjak kaget. Dia tidak mengira ada anggota klub basket yang sudah ada sepagi ini.

“Eh… ahhh… itu…”

“Kamu sengaja mandi di sekolah ya?”

“Ah, enggak. Aku memang selalu bawa alat mandi sama handuk ke mana-mana.”

Anak laki-laki itu memasang wajah aneh. Bingung tapi tidak berekspresi, hanya alisnya yang bertaut.

“Memangnya kamu gak punya tempat tinggal?”

“Maaf. Tolong jangan dilaporkan ke pihak sekolah.”

“Ah, betul juga. Kamu sudah melanggarnya: mandi di sekolah; masuk ke klub padahal kamu bukan anggota klub; dan kamu menggunakan fasilitas klub padahal kamu bukan anggota klub.”

Mawar hampir menangis, “Makanya, aku minta tolong jangan dilaporkan.”

“Kamu bisa main basket?”

Tapi pertanyaan itu membuat muka Mawar menjadi bodoh. Detik sebelumnya laki-laki di depannya ini menekannya, tapi detik berikutnya memberi perntanyaan ringan.

“Bisa. Mungkin. Sedikit.”

“Gak masalah. Temani saja aku bermain.”

“Tapi, aku kan bukan anggota klub.”

“Bagaimana kalau kamu masuk saja?”

Aahhh ini pemaksaan!

“Gak mau. Aku harus kerja…”

Ups! Dengan cepat Mawar menutup mulutnya.

Mungkin hanya perasaan Mawar, tapi dia seakan bisa melihat senyum meremehkan dari muka tanpa ekspresi itu.

“Bukannya siswa di sini gak boleh kerja sambilan ya?”

Aahhhhh! Sial!

Dengan panik, Mawar menantang laki-laki di depannya ini bermain basket one on one.

“Kita main one on one. Kalau aku bisa masukin bola artinya aku menang. Kamu gak akan laporkan apa-apa dan tutup mulut!”

“Heee kamu nantang aku?”

Mau bagaimana lagi, “Ya!”

“Terus kalau kamu kalah?”

“Gak akan!”

“Kasih tahu dulu dong apa rewardku kalau kamu kalah. Betul-betul gak asik kalau aku menang dan gak dapat apa-apa,” ucap laki-laki itu sambil memantulu-mantulkan bola ke lantai.

Mawar betul-betul panik sampai tidak bisa berpikir apa-apa, “Apapun. Apapun yang kamu mau.”

“Oke.”

Akhirnya, pertandingan one on one itu dimenangkan Mawar dengan sedikit mudah.

Laki-laki itu terlihat kesal tapi Mawar tetap saja tidak melihat ekspresi kesal di wajahnya kecuali alisnya yang bertaut sangat dalam.

Pasti dia kesal. Dikalahkan cewek, bukan anggota klub pula.

Tapi, dia manis. Ganteng. Kalau aku ketemu dia tiga kali artinya dia jodohku dan aku harus bilang suka sama dia. Ahhh kenapa jantungku gak juga berhenti berdebar-debar padahal ini sudah istirahat pertama! Sudah tiga jam berlalu!

Mawar mendengar pemberitahuan dari speaker kalau dia dipanggil ke kantor kepala sekolah.

Ha? Kenapa? ada apa? Apa dia tetap melaporkan aku meski aku sudah menang? Ah, dasar cowok! Harusnya dia malu ingkar janji.

“Masuk,” ucap suara dari dalam sesaat setelah Mawar mengetuk pintu.

Saat pintu terbuka, Mawar melihat laki-laki itu keluar. Ahh, betul. Dia melaporkanku. Jahat!

“Maaf, ada apa?”

“Kamu sudah di sini? Nah, Mawar, Bapak ini mau bertemu kamu,” ucap kepala sekolah sambil menyilakan duduk dengan gerakan tangannya.

Mawar terperanjat saat melihat siapa orang yang dimaksud.

“A-Anda kan… harus beristirahat! kenapa ada di sini?!” tanya Mawar dengan nada tinggi karena panik.

Tapi, laki-laki itu tersenyum lembut, “Gak masalah. Aku baik-baik saja. Lihat?”

Mawar tetap khawatir meski berkurang kadar kekhawatirannya.

“Ada apa?”

“Kamu diterima. Mulai hari ini kamu menjadi guru les Reza ya?”

Reza? HEEHHHH anak bandel kemarin? Ah, pantas saja gak ada yang betah. Oh Tuhan, sepertinya cobaanmu kali ini lebih sulit.

“I-iya.”

“Rendi. Yang baru saja keluar itu anak pertamaku. Dia kebanggaan sekolah ini selama tiga tahun berturut-turut. Dia yang memeriksa semua jawabanmu dan dia kagum. Kamu bahkan menyelesaikan dengan cara terbaik. Lalu, kenapa kamu ada di kelas F?”

“Itu, saya punya alasan sendiri.”

“Oh, baiklah. Oh iya, itu kamu kan? Anak yang peringkat pertama saat ujian masuk dan menerima beasiswa?”

“Iya.”

Mawar masih takut. Ternyata dia adalah kepala yayasan. Pantas saja dia bilang untuk mengetahui siapa saja pejabat sekolah.

“Itu, maaf saya melanggar peraturan sekolah…”

Laki-laki itu tertawa senang, “Gak apa. Kamu dapat perlakuan khusus karena kamu peringkat pertama.”

“Tapi kan saya hanya mendapat nilai rata-rata KKM saja.”

Laki-laki itu masih saja tertawa. “Ah ini. ambil hape ini. Kamu bisa pakai hape kan? Bakalan sulit buat kami kalau kamu susah dihubungi.”

“Tapi, mana bisa saya menerima barang mahal begini. Lagipula saya bahkan belum mulai bekerja.”

“Anggap saja ini rasa terima kasih karena sudah menolongku kemarin.”

“Tapi saya-“

“Tidak boleh menolak. Ah, aku harus pergi.”

Belum sempat Mawar berkata apa-apa, laki-laki itu kembali berbicara.

“Rendi akan menunggumu sepulang sekolah. Kalian bisa saling berhubungan lewat hape. Nomor Rendi sudah kumasukkan ke kontak.”

Mawar tidak tahu lagi harus merespon apa.

“Eh, anu…”

Rendi menurunkan kaca mobil.

“Kamu lama.”

“Iya maaf, soalnya gak enak kalau anak-anak lain lihat.”

“Kalau gitu cepat naik.”

“I-iya.”

“Siapa suruh kamu duduk di situ? Kamu kira aku supirmu?! Duduk di depan.”

Seperti yang Mawar duga, Rendi memang tidak punya ekspresi. Hanya intonasinya saat berbicara yang membedakan dia sedang dalam zona emosi mana.

“I-IYA!”

Tapi, begitu Mawar masuk, Rendi tidak langsung melajukan mobil. Rendi malah menjatuhkan kepalanya di setir.

“Ahh. Ini memalukan. Aku kalah dari cewek. Kamu ini sebetulnya makhluk apa sih? Bahkan bisa menggendong ayahku dengan jarak begitu?”

“Itu kan, kalau kita lagi panik, kita bakal ngeluarin kekuatan maksimal.”

“Kamu bahkan lebih pintar dari aku.”

“Itu…”

“Kenapa kamu begitu?”

“He? Kenapa? aku punya alasan sendiri kenapa begitu. Apa gak apa nih kita lama-lama di sini?”

“Aku masih capek Kakak… kenapa Kakak juga ikut-ikutan maksa aku sih? Baru juga pulang sekolah,” keluh Reza kesal.

Mawar mengerti perasaan Reza. Ya, sudahlah. Gak apa malam ini aku tidur di halte lagi.

“Gak apa kok. Kita belajarnya habis makan malam saja ya? Kalau begitu nanti jam tujuh aku balik lagi.”

Setelah berkata begitu Mawar pamit. Aku harus menyiapkan perlengkapanku.

Di belakang, Mawar bisa mendengar pembicaraan kakak-beradik itu.

“Aku mau datangin Ayah di rumah sakit, Kak.”

“Gak boleh. Tetap di rumah. Jam tujuh kan kamu harus belajar.”

Mawar bisa mendengar Reza membanting pintu sebelum dia menutup pintu dan berjalan menuju halaman yang luas itu.

Mawar kembali jam tujuh kurang lima belas menit, tapi mereka belum selesai makan, jadi Mawar menunggu di kamar Reza. Karena bosan, Mawar melihat-lihat pelajaran seperti apa yang mau Reza pelajari.

Sial. Anak gila. Ini kan pelajaran SMP kelas tiga? Dia kelas berapa sih harusnya? Pantas saja banyak yang mengundurkan diri! Dia anak jenius! Gak perlu diajarin LAGI!

“Aku sudah siap belajar,” ucap Reza lesu saat pintu terbuka.

“Aku bisa belajar ini sendiri kok. Kamu cukup duduk diam dan terima gajimu.”

Anak ini, Mawar tetap tersenyum, dia masih anak kecil Mawar, sabar.

“Kita perkenalan dulu. Namaku Mawar, kamu Reza kan?”

Reza membuka pelajaran Fisika, “Kalau sudah tahu gak usah kenalan lagi kan?”

“Ah, kamu betul. Sebetulnya aku juga benci perkenalan. Ah, aku Cuma mau tahu umurmu. Berapa umurmu?”

“Coba tebak. Kalau kamu bisa tebak aku mau kamu ajarin.”

Uh, anak ini!

“ Sebelas tahun lima hari lagi.”

Reza menjatuhkan bukunya karena kaget, “Gimana kamu tahu?”

Mawar tersenyum, ternyata dia memang anak kecil, “Kalau kamu berharap orang lain gak tahu, harusnya jangan ngelingkarin kalendermu dan nulisin tanggal lahirmu di situ.”

Reza kembali ke sifat sebelumnya, mengambil bukunya dan meletakkan di meja.

“Aku siap belajar. Seperti yang kubilang aku mau kamu ajarkan.”

Tapi, Mawar tidak juga memulai pelajaran dan malah memandang Reza sedih.

“Apa…”

Air mata Reza jatuh saat kepalanya diusap lembut oleh Mawar.

“Anak baik. Tapi, kamu harus lebih terbuka lagi. Kamu harus bilang apa yang kamu mau, apa yang gak kamu suka.”

“Kenapa kamu tahu?”

Mawar memeluk Reza, di matanya, anak yang harusnya masih kelas lima SD itu betul-betul rapuh.

“Entahlah.”

Reza langsung nangis sesegukan dan bercerita banyak pada Mawar.

“Ayah betul-betul berusaha keras mengembangkan perusahaan tapi belakangan ini kondisinya memburuk. Kakak akan segera menggantikannya. Kakak harus menggantikannya setelah lulus SMA. Kakak harus melupakan cita-citanya. Padahal Kakak orang baik.”

“Hmm, kamu mau membantu kakakmu ya?”

Reza mengangguk.

“Tapi, kakakmu pasti ingin yang terbaik untukmu. Dia mau kamu menikmati masamu dengan bermain bersama teman-temanmu.”

“Kakak juga pernah bilang begitu, tapi…”

Mawar menjauhkan kepala Reza agar Reza bisa melihat wajahnya yang serius mengatakan ini, “Kamu gak percaya kakakmu?”

“Tentu saja aku percaya!”

Mawar tersenyum lembut, “Kalau begitu, nanti kamu harus bertanya padanya apa dia menikmati hidupnya atatu gak dan apa dia merasa terbebani atau gak, juga tanyakan saja semua yang mau kamu tahu. Kamu harus lebih terbuka.”

Reza kembali mengangguk dan memeluk Mawar.

Ada perasaan menyakitkan saat dia mengatakan itu.

“Kamu pasti capek dengan semua yang buru-buru ini padahal kamu ada di masa bermain. Jadi, kamu mencoba mendapat perhatian dengan caramu. Sebetulnya kamu mau kakakmu yang mengajarimu kan?”

Reza tidak menjawab dan Mawar menganggapnya sebagai ‘iya’.

“Baiklah, aku akan mengundurkan diri setelah…”

“Gak. Aku mau diajarin kamu kok.”

“Ayah bilang kamu pintar. Kakak juga bilang tadi.”

Mawar melepas pelukannya dan membiarkan Reza duduk sendiri.

“Kenapa kamu berubah pikiran secepat itu?”

Ekspresi Reza kembali seperti sebelumnya, “Bukan urusanmu.”

Mawar langsung mencubit kedua pipi Reza, “Sudah kubilang kan, kamu harus lebih terbuka.”

“A-aku cuma… gak ada alasan khusus kok!”

Mawar tertawa ringan, “Iya iya. Kamu mau belajar sekarang?”

Reza mengangguk.

Tadinya Mawar mendapat cerita dari Rendi selama perjalanan kalau Reza selalu membuat guru-guru les sebelumnya tidak tahan dengan sifat Reza yang tidak niat belajar. Tapi, Mawar bisa melihat Reza betul-betul mau belajar. Niat dari dalam hatinya.

Sekali lagi Mawar merasa hatinya sakit.

“Nah, sudah waktunya kamu tidur. Sudah jam sepuluh. Aku juga harus kembali,” ucap Mawar sambil mengusap kepala Reza.

“Kenapa cepat banget sih?”

Anak nakal, “Apanya yang cepat? Dari jam delapan sampai jam sepuluh apa kamu gak capek? Lagian matamu gak ngantuk habis nangis?”

Reza terdiam, “Iya.”

“Nah, apa besok kita belajar?”

“Aku akan menghubungimu. Kata Kakak, Ayah kasih kamu hape, di situ ada kontak semua keluarga kami. Kamu bisa menghubungi kami. Itu kartu prabayar, jadi kamu santai saja.”

Dasar anak sok, “AH iya, kalau kamu mau kepalamu dielus begini, kamu harus bilang, kamu suka diginikan kan?”

Mawar langsung mengacak-acak rambut Reza yang halus.

Hmm apa rambut Rendi halus begini ya?

Tanpa sadar Mawar tertawa geli.

“Apa yang kamu ketawain?”

“He? Gak ada.”

Sebentar, kayaknya ada yang aneh… satu kali pas main basket, kedua pas di kantor, ketiga pas pulang? Kok kayaknya ada yang kelewat ya?!

“Aku,”

“Apa?”

“Aku berterima kasih karena kamu udah nyelamatin nyawa Ayah.”

Mawar tersenyum dan mengelus kepala Reza, “Gak masalah.”

“HHUAAAA!”

“Apa?!”

“Gak, gak apa!” jawab Mawar kaku.

“Jangan bikin kaget dong!”

Mawar tertawa kikuk.

Ternyata aku ngelewatin yang di rumah sakit. Aku sudah ngeliat dia berkali-kali. Ah, dia memang keren. Gimana bisa aku bilang kalau alasan aku belajar basket adalah dia dan aku malah ngalahin dia di one on one?

Memang sih, waktu di rumah sakit dan one on one sama dia bukan pertama kali lihat, tapi itu pertama kali bertemu langsung. Gimana ngomongnya ya? Dia betul-betul keren waktu pertandingan basket antar sekolah se-provinsi tahun lalu.


Posted via Blogaway

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

write your comment here...

Blogger news