Kita adalah Teman (selamanya)
-Kuharap itu tidak nyata-
Indara/Finda Rahmadaniati/Pemilik blog greenfira.blogspot.com
Kyo selalu dengan tampang datarnya, setiap
pagi menjemputku ke sekolah. “Selamat pagi,” selalu dia ucapkan dengan tulus.
“Ah, kamu hari ini kesiangan lagi.”
Lagi-lagi dia sudah di depan pintu rumahku
saat aku membuka pintu.
“Apanya yang ‘hehe’?” ucapnya sambil
berjalan meninggalkanku.
“Kyo, tunggu!”
“Makanya buruan. Kita bisa telat di hari
pertama sekolah. Kalau sampai itu terjadi, ini semua gara-gara kamu…”
“Iya, iya…”
“Kalau kamu bisa secepat itu makai
sepatunya, harusnya dari tadi kamu lakukan. Lagian, ngapain sih kamu meluk aku
sambil jalan gini. Kamu kan sudah gede, bisa jalan sendiri…”
“Ah, kakiku sakit.”
“Itu salahmu sendiri, turun tangga gak
hati-hati.”
Aku melepas pelukannya, walau aku senang
mendengar bisik-bisik orang yang lalu lalang.
“Emangnya ini salah siapa yang ngagetin aku
hah?”
Dia menoleh dan menatapku, “Salahmu sendiri
nguping pembicaraan orang.”
Ah, dia tahu. Aku jadi salah tingkah, “Ah, itu… anu, aku
disuruh Tante buat ngawasin kamu!”
“Iya, iya. Terserah deh…”
Sudah, gitu aja. Padahal aku mau ngobrol
lebih banyak lagi sama Kyo. Di sekolah, kami beda kelas. Kalau sudah di rumah,
dia bakal sibuk belajar.
“Kyo!”
Kyo melambaikan tangannya pada gadis
seumuran kami yang menunggu di gerbang sekolah.
“Ah, hari ini kalian berangkat bareng lagi
ya?” ucap gadis itu menggemaskan.
Dia memang menggemaskan.
“Iya, rumah kami kan bersebelahan.”
“Ah, aku iri…”
Yang iri, harusnya aku. Kamu pacarnya, pacarnya.
Kyo gak pernah punya waktu main sama aku lagi sejak kelas empat SD. Itu, aku
betul-betul kangen masa itu. Masa saat Kyo hanya bermain denganku. Hanya
denganku.
“Ah, Rika. Maaf, hari ini kita gak bisa
jalan. Aku harus ke perpustakaan, ada buku yang lagi aku cari. Ryo juga nitip
buku yang harus dikembalikan dan buku yang mau dia baca, lagi.”
Rika tersenyum lembut, selalu, dia memang
gadis lembut. “Gak apa. Kalau kamu mau, aku bisa bantu carikan buku yang adikmu
pesan.”
“He? Gak apa?”
Rika mengangguk, “Gak apa.”
Aku bukan siapa-siapa buat Kyo. Rika masuk
ke dalam hidup kami saat kami kelas empat SD, dia murid pindahan. Aku senang
punya teman baru, tapi…
“Lia, gak ikut?”
Aku bukan siapa-siapa, “Ah, hehe… gak. Aku ada les sehabis pulang
sekolah.”
“Oh, gitu ya? Ya sudah, lain kali ya?”
Aku mengangguk walau aku sendiri gak tahu
apa aku mau melakukannya atau gak.
“Lia, PRmu?”
Satu-satunya yang bisa kubanggakan adalah
saat Kyo memperhatikanku seperti ini.
Aku terdiam sebentar. Itu tugas ekskul
sebelum liburan semester ganjil. Astaga… ASTAGA!!?!
“Gawat! Aku lupa… kayaknya ketinggalan di
kamar deh…”
Kyo membuka tasnya, “Iya, memang. Kamu
ninggalin ini di kamarku. Dasar kamu ceroboh banget.”
Kyo memberikan bukuku setelah memukul
kepalaku dengan buku itu, “Gimana kamu bisa hidup kalau aku gak ada di
sampingmu!”
Aku terdiam satu detik. Hanya satu detik,
kuharap Kyo dan Rika gak sadar.
“Haha! Memangnya kamu siapa?”
“Pahlawanmu…”
“ Aku ini hebat tahu!” ucapku tanpa
menghiraukan jawabannya.
Rika tertawa. Dia selalu saja manis,
“Kalian sama sekali gak berubah sejak aku kenal kalian.”
Aku selalu beruntung di saat seperti ini.
Bel berbunyi menyelamatkan keadaan.
“Ah, sudah bel. Aku ke kelas dulu ya!
Kalian juga buruan ke kelas, nanti bisa telat.”
“Memangnya ini gara-gara siapa?”
Aku menjulurkan lidah dan berlari
meninggalkan mereka menuju kelas Bahasa Jerman.
“Lia, jangan lari-lari. Kakimu masih sakit
kan?”
Aku bisa mendengar peringatan Kyo tapi aku
pura-pura gak dengar. Kalau aku berbalik, aku pasti menitihkan air mata. Bukan
karena sakit kakiku gara-gara jatuh di tangga, tapi rasanya sesak.
Aku selalu berpikir, ke mana perginya
keberuntunganku?
*
Aku sudah menyukai Kyo sejak aku kecil.
Suka, sangat suka.
“Halo! Aku Lia, baru aja pindah hari ini.
Kita berteman ya?” ucapku senang saat orang tuaku mengajakku berkunjung ke
rumah tetangga untuk memperkenalkan diri.
Aku pikir waktu itu umurku sekitar empat
atau lima tahun. Gak banyak yang aku ingat saat perkenalan dengan tetangga
kami. Cuma dia, Kyo, yang masih aku ingat sampai sekarang.
Aku mendengar bel rumah berbunyi dan
membuka pintu untuk menerima tamu.
“Halo,” ucapnya.
“Kyo? Ada apa?”
Aku biasanya gak bisa ingat orang dengan
sekali menemuinya. Tapi, aku bisa melakukannya karena dia Kyo.
“Mengantar kue. Mama baru aja buat kue.”
Aku senang. Bukan cuma karena dapat kue yang aku suka,
tapi karena Kyo yang memberikannya.
“Makasih! Pasti enak deh!”
“Gak enak. Manis banget.”
“Hee mana boleh ngomong begitu! Mamamu
pasti sedih kalau dengar begitu, lagian jangan ngomong ‘gak enak’ di depan
makanan, nanti makanannya bisa nangis.”
“Kamu baru aja ngomong begitu…”
“Aku cuma nyontohin tahu!”
“Kamu sendirian?”
Aku mengangguk, “Mama sama Papa ke rumah
sakit. Nenek sakit.”
“Kenapa kamu buka pintu kalau gitu? Siapa
tahu aja aku orang jahat yang mau menculik kamu.”
Aku yakin, raut mukaku yang ketakutan
terlihat lucu buat dia karena dia tertawa tiba-tiba. Tapi aku senang.
Aku bisa melihatnya tertawa. Cuma aku yang tahu Kyo bisa tertawa terbahak-bahak
sampai seperti itu. Gak ada yang bisa membayangkan Kyo bakal tertawa begitu
dengan mukanya yang datar. Ini rahasiaku. Aku senang.
“Kapan Mama sama Papamu pulang?”
“Nanti malam.”
“Ya sudah, aku temanin kamu. Aku bilang
Mama dulu.”
Aku terdiam. Aku yakin, kalau dia berbalik
meminta persetujuanku dia pasti melihat pipiku yang memerah.
Kyo selalu ada untukku. Walau aku sadar aku
hanya menikmati waktu indahku berdua dengan Kyo sekejap, cuma sekejap mata.
Papa memutuskan gak akan pindah-pindah
kerja lagi. Papa sangat menyayangiku. Dia senang aku berteman baik sama Kyo.
Jadi, Papa gak akan misahin aku dari Kyo. Aku terima resikonya walau Papa harus
sering keluar kota selama beberapa hari bahkan bisa sampai sebulan atau
beberapa bulan—dan pulang sesekali untuk menjengukku dan Mama—aku gak masalah.
Dan saat aku mulai beranjak besar, sedikit lebih besar dan bisa menjaga rumah
sendiri, Mama pergi menemani Papa kerja di luar kota. Lalu, saat-saat seperti
itu, Kyo datang ke rumahku dan menginap di rumah untuk menemaniku.
Kyo pintar masak. Waktu itu kelas tiga SD,
tapi dia sudah bisa menggoreng telur dan memasak mie instan. Aku, bahkan sampai
sekarang masih sering makan telur gosong.
“Ah, aku yakin gak ada yang mau nikah sama
kamu kalau kamu gak belajar masak,” itu ucapnya saat kelas dua SMP.
Waktu itu, aku, Kyo, dan Rika sedang makan
bekal kami.
“Sudah aku bilang, Mama lagi nemenin Papa
keluar kota.”
“Ya, ya… goreng telur aja sampai gosong
begitu.”
Rika tertawa, “Besok mau aku buatkan Lia?”
“Gak usah deh Rika, dia juga menolak waktu
Mamaku mau buatkan buat dia.”
“Grrr…”
“Nih,” aku bisa lihat kotak makan Kyo
tiba-tiba muncul di depan mataku, “Kita bisa berbagi.”
Aku masih kesal, “Gak perlu!”
Aku makan bekalku dengan beringas.
“Nanti kamu bisa sakit perut lho kalau
makan telur gosong itu,” Ucap Rika khawatir.
Aku tersenyum pada Rika, “Gak bakal!”
“Mama sama Papamu masih seminggu di Papua,
jadi jangan buat dia khawatir,” Kyo langsung menaruh sosis goreng-guritanya ke
kotak makanku sebagian, “kalau sudah gitu kamu pasti ngerepotin aku.”
Ah, aku gak jadi terharu! Tapi, walau
begitu aku tetap saja memakan sosis yang dia kasih. Di sudut mataku aku bisa
melihat dia tersenyum.
*
Semua baik-baik saja walau bukan hanya aku
dan Kyo yang menikmati dunia indah kami. Setidaknya itu pikiranku sampai
kenaikan kelas tiga SMP.
“AH! Kita semua sekelas!” ucapku riang. Berpura-pura
riang.
“Wah, menyenangkan ya?” ucap Rika sambil
tersenyum pada Kyo. Itu pertama kalinya aku sadar kalau Rika selalu tersenyum
untuk Kyo. Cara tersenyum yang berbeda. Selalu Kyo yang pertama.
“Ya.” Kyo menjawabnya dengan membalas
senyum Rika.
“Tapi, ahhh! Lagi-lagi absenku habis kamu,
Kyo!” ucapku sebal. Pura-pura sebal. Pura-pura, selalu ini yang aku lakukan.
“Salahkan Mamamu memberi nama dengan huruf
awal L.”
Aku ngomel sendiri menanggapinya dan lagi,
Rika tersenyum untuk Kyo dan Kyo membalasnya.
Sebelumnya, dari TK, SD, sampai SMP kelas
dua kemarin aku selalu sekelas dengan Kyo. Daftar absenku selalu setelahnya.
Gak apa, aku senang karena kalau pelajaran olahraga dia selalu duluan, kami
berpapasan dan dia memberiku semangat setiap pengambilan nilai. Tempat duduk
kami berdekatan kalau ulangan. Aku senang.
“Kalian memang jago olahraga ya?” ucap Rika
setelah pelajaran olahraga pertama kami.
“Yah, itu…” aku bingung gimana
menjelaskannya, jadi yang aku lakukan hanya menggaruk belakang kepalaku yang
gak gatal sama sekali.
“Itu karena kami selalu main permainan
laki-laki, maksudku sepak bola. Dia kan memang laki-laki!”
Kesal. Dia selalu begitu. Padahal, alasanku
cuma satu. Dia selalu memberiku semangat.
Di kelas tiga ini kami sering belajar
bersama sepulang sekolah. Tempatnya adalah rumahku, rumah Kyo, dan rumah Rika.
Kami menggilirnya biar gak bosan.
“Wah, sudah semester dua, ya?” ucap Rika
senang. Entahlah apa yang membuatnya senang seperti itu.
“Hmm iya ya, gak lama kita bakal UAN ya…”
“Kalau gitu kamu harus belajar giat,” ucap
Kyo sambil menepuk kepalaku.
“Aku kan lagi ngelakuin. Lagian, yang
santai-santai itu kan kamu!” ucapku gemas pada Kyo yang berbaring di tempat
tidurku sambil menikmati koleksi mangaku.
“Hee aku kan jenius.”
“Terserah lah!” ucapku berusaha fokus pada
buku bahasa Jepang di depan mataku.
“Kamu gak mau buatkan kami minuman? Kami
tamu lho, tamu,” tanya Kyo mengalihkan pandangannya dari manga yang dia
baca.
“Yang biasanya bilang anggap rumah sendiri
itu kan kamu!”
Dia selalu membuatku marah. Tapi, entah
bagaimana aku gak betul-betul marah. Aku senang.
“Oi Lia.”
“Apa lagi sih!? Sirupnya ada di kulkas. Gelasnya
di tempat biasa, kamu bisa buat sendiri kok.”
“Siapa yang minta dibuatkan minum sih?”
“Terus apa?” ucapku sambil menatapnya.
“Paling gak kan kamu buatkan untuk Rika.”
Aku bisa lihat pipi Rika memerah dari sudut
mataku.
“Kalau gitu kamu yang buatkan sana.”
Rika tertawa, “Gak apa, aku bisa buat
sendiri,” ucap Rika mau berdiri.
“Biar aku aja,” ucap Kyo menutup manga yang
dia baca sambil menahan Rika di bahunya, “Dasar kamu ini. Kalau kamu begini
terus gak bakal ada yang mau jadi suamimu.”
Aku menjulurkan lidah dan kembali tenggelam
dengan buku bahasa Jepangku.
Aku tahu, aku tahu. Aku cuma mau kamu yang
tahu. Itu aja alasanku.
Kyo kembali dengan ceret berisi sirup
mangga dan dua gelas.
“Cuma dua gelasnya?”
“Ini kan rumahmu, kamu bisa ambil sendiri,”
ucapnya sambil meletakkan minuman di meja dan tersenyum pada Rika, “Nih minum.”
Rika menerima gelas dari Kyo dengan senang,
“Makasih.”
“Tuan rumahnya sekarang aku.”
“Ini rumahku!”
Kali ini aku betul-betul kesal.
Pertama kalinya. Bukan karena kelakuan Kyo, itu sudah biasa, malahan aku
senang. Aku kesal karena dia menuangkan minuman untuk Rika dan tersenyum untuk
Rika. Aku kesal, cemburu.
“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan.
Sebentar lagi kita jadi murid SMA,” ucapnya sambil membuka manga yang tadi dia
beri tanda.
Aku hanya diam dan berusaha tenggelam
bersama tulisan-tulisan bahasa Jepang di depan mataku.
“Ah, Lia, kamu mau masuk SMA mana nanti?”
Aku sebenarnya mau masuk SMA Dua, di sana
aku bisa belajar banyak bahasa. Tapi, aku ragu dengan sekolah yang kamu
pilih. Kamu tahu, aku takut berpisah dari kamu.
“Oh iya, betul juga. Aku masih bingung
masuk SMA mana,” ucap Rika sambil berpikir, “Kyo sendiri?”
Kyo mengangkat bahu, aku bisa lihat dari
sudut mataku. Ah, aku betul-betul gak fokus dengan tulisan bahasa Jepang di
depan mataku. Aku gak bisa tenggelam, aku memperhatikan mereka berdua selama
belajar bersama.
“Aku juga masih belum tahu.”
Ketakutanku benar. Rika tiba-tiba datang
padaku dan curhat tentang perasaannya pada Kyo. Takut, aku takut.
“Aku selalu berpikir kalian pacaran, karena
itu aku…”
Aku memegang tangan Rika dan
tersenyum—palsu—padanya, “Gak apa, sebaiknya kamu ngomong langsung sama Kyo.”
Rika tersenyum dan mengangguk.
Gak, gak, jangan ngomong sama dia. Aku gak
mau.
Rika langsung mengatakannya setelah pulang
sekolah saat aku mau menjemput Kyo di ruang ekskul basket.
“…suka Kyo sejak pertama.”
Kyo gak menjawab apapun. Dia hanya diam
memandang Rika dengan muka datarnya.
“Ah, Kyo gak perlu jawab sekarang kok. Aku
senang bisa sama-sama Kyo.”
Kyo menepuk kepala Rika dan tersenyum. Itu
pertama kali aku melihat Kyo menepuk kepala orang lain. Sesak.
Di perjalanan pulang kami hanya diam.
“Kamu sakit?” tanyanya tiba-tiba sambil
mencoba memegang dahiku.
“Gak,” ucapku sambil menepis tangan Kyo.
“Oh, baguslah artinya kamu sehat.”
Hening lagi. Kenapa perjalanan pulang ke
rumah rasanya jauh ya?
“Ngomong-ngomong soal SMA…”
Aku tersenyum semangat—palsu—dan
menatapnya, “SMA Dua, aku akan masuk sana. Di sana ada kelas bahasa.”
Aku harus buat keputusan. Betul. Aku gak
bisa selamanya di samping Kyo. Ada masanya dia akan bersama orang lain, untuk
itu aku harus belajar dari sekarang.
“Oh gitu,” Kyo kembali berjalan, “Betul
juga, kamu suka belajar bahasa negara lain.”
Aku selama ini hanya seperti ini, melihat
punggungnya, gak bakal bisa jalan di sampingnya. Seandainya bisa jalan di
depannya, aku gak mau. Aku memilih berjalan di belakang menikmati punggungnya
kalau aku gak bisa jalan beriringan dengannya.
Entah sudah berapa minggu sejak Rika
mengungkapkan perasaannya, yang jelas UAN sudah di depan mata.
“Maaf ya, mulai hari ini aku les.”
“Lia, kenapa baru ngomong sekarang?”
“Iya, kamu gak pernah bilang sama aku.”
Aku gak mau kamu tahu, “Ahahaha, aku lupa. Rasanya belakangan
ini aku jadi sibuk.”
“Dasar nenek-nenek.”
Aku gak menanggapinya.
“Nah, aku pergi duluan ya?” ucapku sambil
melambaikan tangan.
Betul-betul melelahkan. Capek. Lari dari
masalah itu capek. Bahkan ujian bulan depan bukan apa-apa, aku sama sekali
gak takut.
“Ah, kamu baru pulang?”
“Kenapa kamu ada di rumahku?”
“Mama sama Papamu kan lagi di Aceh? Jadi
aku lagi nemenin kamu. Mama yang nyuruh.”
Oh, jadi selama ini Mamanya yang nyuruh.
Mengecewakan. Aku terlalu berharap.
“Jangan masuk rumah orang seenaknya. Lagian
aku sudah besar!”
“He? Besar? Di mataku kamu gak besar sama
sekali,” ucap Kyo sambil mengikutiku menuju dapur.
Aku mengabaikannya. Lelah. Capek.
“Aku sudah buatkan makan. Sana mandi, habis
itu kita makan bareng.”
Aku membuka kulkas dan mengambil botol
minum dan meneguknya, mengembalikannya dan menuju kamar.
“Jangan ketiduran ya? Mandi dulu baru
makan, habis itu baru tidur.”
“Memangnya kamu ini mamaku?”
Aku harus cepat tidur.
“Kamu selalu jago masak.”
“Kamu pasti kecapekan. Kenapa gak belajar
bareng aja sih daripada les pulang malam?”
“Aku baru aja muji masakanmu, harusnya kamu
bilang makasih.”
“Aku juga baru aja ngomong sesuatu tapi
kamu abaikan. Kamu kenapa sih belakangan ini?”
Aku terdiam dan gerakan tanganku berhenti.
“Aku Cuma lagi berusaha masuk ke sekolah
impianku. Mengejar cita-citaku.”
Aku kembali menyuap makanan di hadapanku.
“Aku juga ke SMA Dua.”
Aku menatapnya gak percaya, “Kenapa?”
“Kamu itu harus dijagain,” ucapnya setelah
meneguk air, “Rika juga bakal ke SMA Dua.”
Aku kembali menyantap makananku. Ternyata itu
alasannya.
“Baguslah, kita bakal bareng lagi.”
Hening beberapa saat, aku menikmatinya.
Otakku sudah lelah, kuharap dia mengerti dengan gak memulai obrolan lagi.
“Rika nembak aku dua bulan lalu dan aku
belum ngasih jawaban, tadi dia memastikan jawabanku dan aku meminta waktu
lagi.”
Aku harus pura-pura kaget, “Apa?! Dua
bulan?! Kamu gila ya nggantungin perasaan perempuan selama itu?”
Dia diam, “Aku bingung.”
“Sudah pasti kamu harus terima dia kan?
Rika cantik, baik, populer…”
“Ah, betul aku akan terima dia besok.”
Aku harus bagaimana? Kepura-puraanku
menyiksaku.
“Baguslah,” aku menghentikan makanku.
Selera makanku yang gak seberapa menguap entah ke mana.
“Biar aku yang nyuci piring. Kamu pulang
aja.”
Itu terakhir aku berbicara dengannya di
masa kelas tiga SMP. Meski nomor urut ujian kami berurutan aku gak pernah
ngobrol sama dia. Meski kami pergi dan pulang sekolah bersama, kami gak pernah
mencoba memulai pembicaraan.
Aku tahu Kyo bakal lulus dengan nilai yang
sangat bagus, meski nilaiku gak jelek. Dia harusnya bisa masuk SMA Favorit kalau
dia mau, tapi seperti yang dia bilang aku bertemu dengannya bersama Rika di
pendaftaran masuk SMA Dua.
Kakek memintaku mengunjunginya selama
liburan. Apakan ini memudahkanku atau malah mempersulitku, entahlah yang jelas
aku gak terima kabar dari Kyo selama liburan.
“Kamu ini!”
Aku kaget. Sangat sangat sangat kaget saat
kulihat dia menunggu di pagar rumahku.
“Ngapain kamu di sini? Tenang aja, aku
bakal ngantar oleh-olehnya nanti.”
Dia mengambil alih bawaanku dan langsung
menaruhnya di dalam rumah. Dia menarikku naik motor barunya.
“Kita mau ke mana?”
Dia gak jawab. Gak lama aku tahu tujuan
kami.
“Kamu ini sudah SMA, harusnya kamu punya
hape. Kamu tahu gimana bingungnya aku hubungin kamu selama liburan?!”
Dia marah? Kalau iya—seandainya gak juga
yang jelas—lagi-lagi aku tahu satu rahasia ekspresi mukanya.
“Sekarang pilih hape yang kamu mau sekalian
sama nomornya, yang sama sama nomorku aja biar gampang hubunginnya.”
“Ah, kakak yang baik ya? Nah, Dik ayo
pilih…”
Ayo pilih? Memangnya dia lagi ngobral baju
ya? Lagian, siapa adikknya?!
Aku menunjuk sembarang hape yang terlihat
bagus di mataku, “Nomornya sembarang aja.”
“Kalau gitu Mbak, yang ini sama yang ini.”
“Nomor kembar? Ternyata bukan kakak-adik
ya?” ucap penjaga toko itu sambil mengambil nomor yang ditunjuk Kyo.
Kyo mengeluarkan hapenya dan membuka
penutup belakang hapenya.
Hape kami sama…
“Oi, emang gak apa-apa kamu ganti nomor
begitu?”
“Nanti aku hubungin mereka satu-satu,
lagian belum banyak kok yang punya nomorku.”
Ah, kenapa jantungku. Padahal aku sudah janji
untuk menyerah.
“Gak usah diganti. Aku beliin ini buat
kamu. Selama ini aku belum kasih kamu kado ulang tahun tapi kamu gak pernah
lupa sama ulang tahunku.”
Aku diam. Jantungku makin gak karuan.
“Mau mampir ke sekolah dan liat pembagian
kelas?”
“Hmm boleh. Kamu belum lihat?”
“Gak, belum.”
Seperti yang kuduga. Aku kembali sekelas
dengannya.
Seperti yang aku bilang, aku masuk sekolah
ini karena ada kelas bahasa. Maka, saat mengisi formulir kenaikan kelas aku
menuliskan kelas bahasa. Bahasa asing dasarku terbilang lumayan, masuk ke kelas
bahasa bukan masalah.
“Kamu memang otak profesor. Pantas memang
kamu di kelas IPA.”
“Iya.”
Entah sejak kapan aku bisa ngobrol santai
lagi dengannya walau sejak pulang membeli hape dia memberitahuku kalau dia sudah
menerima Rika.
“Sudah kuduga, kamu memang otak profesor.
Kelas satu anggota biasa dan kelas dua jadi ketua OSIS.”
“Makanya, kamu harus bantu perkembangan
sekolah dengan ikut ekskul.”
“Enggak ah, aku mau lebih banyak santai.”
“Kenapa kamu gak ikut ekskul bahasa
Inggris?”
Aku terdiam sebentar, “Ah, mungkin juga
bagus. Aku pikirkan.”
Aku gak pernah tahu Kyo suka sama bahasa
Inggris walau nilai bahasa Inggrisnya gak jelek. Waktu aku daftar masuk ekskul
bahasa Inggris dia yang menerima formulir. Dia sekretaris.
“Memang betul, kamu ini otak profesor.
Ketua OSIS dan sekretaris ekskul bahasa Inggris, anak IPA,” ucapku sepulang
sekolah.
“Aku kan jenius.”
“Ya, memang. Tapi, kamu perlu istirahat.
Kalau nanti kamu sakit aku gak peduli.”
Aku gak peduli…
“Katanya kamu gak peduli?”
“Ck. Aku disuruh Miss Becca buat
ngasih modul hari ini.”
Dia menerima kertas yang aku berikan, “Hmm
makasih.”
“Sudah aku bilang, kan?”
“Mau gimana lagi? Aku gak mungkin lepas
jabatan ketua OSIS.”
“Kalau gitu lepas jabatan sekretaris ekskul
bahasa Inggrismu, aku yang gantiin, nanti aku yang bilang ke guru pembimbing
kita.”
“AH, ternyata betul kamu masih demam. Besok
gak usah turun sekolah aja dulu,” ucapku sambil membantunya berbaring dan
meletakkan kompres, “Duh, ada-ada aja sampai pingsan di sekolah padahal tadi
padi kamu kelihatan baik-baik aja.”
Dia diam. Aku harus ngomong apa lagi kalau
dia diam begini.
“Kalau kamu begini, kepalamu betul-betul
bakal botak dini seperti profesor.”
“Ah, berisik.”
“Hmm, lebih baik kamu tidur. Aku juga mau
pulang. Kamu sms Rika aja kalau mau pinjam catatannya, ntar aku yang ambil dari
dia.”
“Dah!” ucapku lalu menutup pintu kamarnya
dan menuruni tangga.
Di kelas dua SMA ini kami semua beda kelas.
Tentu saja aku yang anak bahasa gak mungkin sekelas sama Kyo dan Rika yang anak
IPA. Tapi, di kelas tiga SMA mereka sekelas. Ya, masa kelas dua SMA ini rasanya
berlalu dengan cepat juga terasa lama.
“Aha! Kita kelas tiga lagi!”
“Wah! Kalian sekelas!”
“Pasti nyenengin banget ya?”
“Anak-anak sekolah pada iri loh sama
pasangan dari SMP ini!”
Aku gak berhenti ngomong setelah melihat
pengumuman pembagian kelas. Aku berharap aku punya keberuntungan kali ini. Aku
sangat berharap bel masukan berbunyi.
“Ah, aku ke kantin dulu ya!”
Bel gak juga bunyi seperti yang
kuharap.
“Ah, Mama sama Papamu keluar kota lagi?”
tanya Rika dengan wajah cemas.
“Ya, begitulah. Jadi, aku belum sarapan deh.
Dah!”
Sesak. Sesak. Bisa-bisa air mataku tumpah
kalau begini.
Menghindari Kyo sangat susah dengan keadaan
rumah kami bersebelahan.
“Lia,” panggil Tante Karin.
“Kenapa tante?”
“Tante baru tahu kalau ternyata Kyo sudah
punya pacar sejak lulus SMP ya? Dia itu, bisa-bisanya baru ngomong. Kalau bukan
karena kepergok teleponan, mungkin Tante gak bakal tahu sampai Tante mati.”
“Tante jangan berlebihan…”
“Tante kira Kyo sama Lia pacaran…”
Aku melambai-lambai tangan, “Gak kok Tante.
Tapi, Lia pikir dia udah kasih tahu Tante. Dasar dia itu!”
Entah kenapa Tante Karin tiba-tiba bermuka
serius dan berbisik-bisik, “Kyo bilang, pacarnya lagi liburan di luar kota jadi
dia cuma telepon-teleponan. Sehabis makan malam dia langsung ke kamar dan
nelepon. Tante pengen tahu apa aja yang mereka bicarain…”
Aku seperti punya firasat buruk.
“Jadi, kamu bantu Tante ya?”
Sudah kuduga. Aku harus diam-diam menaiki tangga dan
menempelkan telingaku di pintu kamarnya. Ah, gak jelas kedengaran. Kayak orang
lagi bisik-bisik.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
“Kamu nguping ya?”
Saking kagetnya aku mundur dengan spontan
dan aku lupa kalau tangganya tepat di depan pintu kamarnya. Sial. Sakit banget
kakiku.
“Kamu ini mau ngerjain PR ekskul bareng
atau mau ngapain sih?”
Kyo menggendongku masuk ke kamarnya. Kami
mengerjakan PR kami dan aku ketiduran. Paginya, saat aku bangun aku ada di
tempat tidur Kyo. Aku buru-buru turun ke bawah. Duh, masih sakit banget.
“Besok-besok kalau kamu mau nginap di sini
bilang dong, jadi bisa disiapin kamar. Gara-gara kamu aku jadi tidur di sofa ruang
tamu. Sakit semua badanku nih.”
“Maaf deh, maaf.”
Dia kurang ajar. Bisa-bisanya gak bangunin aku.
“Lia mau sarapan?”
“Gak usah Ma, dia udah telat. Sana pulang,
cepat mandi. Sebentar lagi aku jemput.”
“Dasar nyebelin! Apanya yang sebentar lagi!
Aku belum nyiapin buku satu pun!”
*
Kali ini aku sama sekali gak punya bayangan
apapun tentang masa depanku. Dulu aku berpikir mau jadi bagpacker dan
keliling dunia, tapi setelah aku pikir-pikir mungkin aku harus cari pekerjaan.
Sebelum itu aku gak tahu harus masuk universitas mana.
“Oi pengangguran.”
“Iya iya profesor.”
Kyo kuliah di UI, jurusan kedokteran dan
Rika juga.
“Aku besok ke Jakarta, jangan kangen sama
aku ya?”
Aku terdiam sebentar.
“Kamu kenapa?”
Aku melihat info kuliah di Jerman. Aku
pikir aku akan coba tesnya.
“Kamu mau kuliah di Jerman?”
Sepertinya cuma perasaanku aja nada
pertanyaan itu sedih.
“Hmm… aku bakal coba.”
Dia menepuk kepalaku tanpa bicara. Aku tahu
itu tepukan kepala terakhir darinya.
Aku gak jadi ikut tes kuliah di Jerman. Aku
sebenarnya masih bimbang. Aku juga sedang gak minat dengan bagpacker.
“Canada?”
*
Aku kaget saat tiba-tiba mendapat e-mail
dari Kyo. Sudah empat tahun aku gak pulang ke rumah dan memberi kabar hanya
lewat e-mail dan telepon melalui internet beberapa kali dengan Mama dan
Papa.
Kamu gak jadi kuliah di Jerman dan gak
kasih tahu aku?
Sejak kapan dia peduli sama aku?
Tapi aku tahu, di mana pun kamu ngikutin
tes kuliah ke luar negeri kamu pasti lolos. Ah, teman-teman SMA mau reunian
bulan Juni nanti.
Aku gak balas dan malah menghapus mailnya.
Aku sudah dapat undangan dari ketua kelasku. Aku mungkin akan datang. Lagipula
seharusnya aku memang sudah pulang. Aku sengaja melarikan diri dengan
memperpanjang visaku.
Gak ada yang lebih berat dari kabar saat
kamu tahu orang yang kamu cintai sudah menikah.
“Kita gak bisa bersama dengan orang yang
kita cintai selamanya,” ucapku di liburan setelah UAN.
“Kenapa kamu ngomongin hal begitu di masa
menunggu pengumuman sih?”
Aku tersenyum lemah padanya, “Terkadang
‘selamat tinggal’ juga perlu diucapkan untuk cinta.”
Wajahnya mengeras. Cuma aku yang tahu
rahasia-rahasia ekspresi mukanya, “Kalau mau berusaha pasti bisa.”
Aku tersenyum mengingat pembicaraanku
dengannya waktu itu. Bahkan perjalanan panjang di pesawat pun aku gak bisa
tidur dan memikirkannya.
Kyo dan Rika sudah menikah tahun lalu
setelah mereka sama-sama lulus S1. Aku titip pesan sama Mama untuk gak bilang
aku di Canada dan aku sibuk kuliah. Aku sebetulnya bisa saja pulang, tapi kalau
aku pulang aku bisa saja bertemu dengannya, itu menakutkan. Aku
bersyukur Mama mengerti perasaanku.
“Selamat datang di Reunian angkatan ke
sembilan puluh tujuh!....”
Aku bisa dengar mantan ekskul radio
memimpin acara reuni kali ini. aku hanya bersembunyi di sini. Di depan ruang
ekskul bahasa Inggris, karena dari sini aku bisa melihat lapangan dengan jelas.
Semua berkumpul dan bersenang-senang. Aku juga bisa lihat Rika dan Kyo duduk
bersama, bercanda dengan teman sekelas mereka.
Aku memainkan hapeku. Ah, kayaknya aku
harus ganti hape model baru.
Dengan hati hampa aku melihat koleksi foto
di hape yang selama empat tahun belakangan ini sama sekali gak pernah aku
sentuh galerinya.
“Kamu lagi apa di sini, kenapa gak ikut ke
sana?”
Aku menoleh kaget. Ternyata setelah empat
tahun aku masih mengingat suaranya dengan baik. Aku melihat ke lapangan dan
betul, Cuma Rika bersama teman sekelasnya.
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku kikuk.
“Itu kan pertanyaanku,” ucapnya sambil
bersandar di pagar.
Aku meliriknya diam-diam, “Dari sini aku
bisa melihat semuanya bersenang-senang.”
“Memangnya kamu gak pantas
bersenang-senang?”
Aku diam.
“Kenapa kamu gak kasih tahu apa-apa selama
empat tahun ini? kamu buat aku putus asa.”
Apa maksudnya?
“Tante gak mau bilang apa-apa. Dia cuma
bilang kamu lagi sibuk kuliah. Waktu ada pertukaran mahasiswa ke Jerman, aku
mati-matian bersaing dengan seluruh mahasiswa kedokteran—bisa kamu bayangin
berapa banyak?—dan diam-diam di sana aku mencari tahu data mahasiswa beasiswa
dari Indonesia. Aku gak nemuin namamu.”
“Yah, tiba-tiba aku tertarik ke Canada.”
“Mencari e-mailmu juga sangat
susah.”
Sepertinya dia lagi gak dengerin aku.
“Ah, iya. Aku minta maaf.”
“Aku gak maafin.”
Lagi. Aku harus melihat rahasianya. Dia
berwajah tersiksa, entah bagaimana. Kenapa jadi dia yang tersiksa sih?
Harusnya kan aku?! Lagian kenapa aku masih harus melihat rahasianya sih!
“Iiih Kyo jahat deh,” ucapku sambil meninju
kecil lengannya.
“Yang jahat itu kamu kan? Kamu ninggalin
aku.”
Aku menoleh ke arahnya dan dia melihatku,
dari tadi.
“Hee yang ninggalin aku kan kamu. Kamu
kuliah duluan di UI. Masa kamu lupa?!”
“Aku bahkan milih UI karena kamu masukin UI
sebagai salah satu universitas yang mau kamu masukin. Aku nunggu kamu di tahun
berikutnya. Gak ada. Kamu gak ada.”
Kyo menggenggam pundakku erat, “Kamu
ngomong apa sih?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa kamu gak pernah sadar kalau selama
ini aku suka kamu?!”
Aku bersyukur musik berdentum-dentum
di lapangan sehingga teriakan Kyo teredam.
“Kyo sudah punya Rika, jadi…”
“Aku gak mencin…”
Sial, air mataku akhirnya tumpah. Tahun lalu
saat kudengar Kyo menikah, ah gak, jauh sebelumnya saat aku tahu mereka
pacaran, aku bahkan gak bisa nangis.
“Kamu gak boleh ngomong begitu. Rika
cantik, pintar dalam pelajaran juga memasak, pasti dia jadi istri yang baik,
yang lebih penting dia sangat mencintaimu. Aku yakin perasaanku kalah…”
Ah, aku ngomong apa sih?!
“Apa? Kamu juga punya perasaan yang sama
denganku tapi, tapi kamu tetap mengabaikanku?!”
Aku tersenyum getir.
“Kamu tahu? Benang yang putus kalau
disambung dengan diikat gak akan bisa menjahit pakaian robek dengan bagus,
perlu teknik khusus. Kita sudah di jalan kita masing-masing.”
Dia memelukku erat sampai aku sulit
bernapas.
“Kyo, lepas. Aku bisa mati gara-gara gak
bisa napas nih…”
Pelukannya mengendur, “Oke. Kalau begitu, nikmatin
hidupmu. Saat kita ketemu lagi…”
“Aku akan kembali ke Canada besok. Mungkin
aku gak bakal kembali lagi. Dah, gitu aja. Aku harus siap-siap. Pasti aku akan
hidup dengan baik.”
Itu terakhir aku bertemu dengannya. Bahkan
saat aku pulang ke Indonesia menjenguk Papa dan Mama, aku gak kasih tahu Kyo.
Pernah aku coba menghubungi nomor kembaran kami dengan nomor lain. Nomornya gak
aktif lagi. Aku gak nanyain apa-apa tentang Kyo sama Mama, Mama juga tahu dan
gak bahasa Kyo. Sesekali aku mengunjungi Tante Karin dan meminta Tante untuk
gak kasih tahu Kyo kalau aku mengunjungi Tante.
lanjutkan mbak
BalasHapusiya... makasih ^^v
Hapusbagus. . . tp gak suka endingnya. . . gak suka dg tindakan tokohnya. . . :'(
BalasHapusendingnya kenapa?
Hapustokohnya nyebelin ya?