Judul: You are the Person I Like the Most: Anniversary (wife’s side)
Length: oneshoot
Genre: romance (ceritanya sih gitu), drama (maunya juga gitu), dewasa (mungkin, tapi gak ahh)
Penulis: Indara/Finda Rahmadaniati/pemilik blog greenfira.blogspot.com
Length: oneshoot
Genre: romance (ceritanya sih gitu), drama (maunya juga gitu), dewasa (mungkin, tapi gak ahh)
Penulis: Indara/Finda Rahmadaniati/pemilik blog greenfira.blogspot.com
You are The Person I Like The Most : Anniversary (wife's side)
Aku gak percaya aku menikah dengan orang
nomor satu paling diinginkan remaja Indonesia!
Haha, aku bercanda. Dia gak seterkenal itu, tapi dia cukup
terkenal karena ketampanannya dan kepandaiannya.
Aku gak tahu setan apa yang ada di
sampingnya, aku juga gak tahu apa yang dibisikkan setan waktu dia ngomong
begitu. Sampai sekarang, yang aku pikirkan adalah dia orang gila. Ya, orang gila
paling kece yang pernah ada!
“Selamat pagi, mau kopi?” Pertanyaan ini
selalu saja aku lontarkan begitu melihat matanya terbuka.
Dia sudah membuka matanya, pasti dia
mendengarku, tapi dia tidak juga menjawab, “Kamu juga mau sarapan sesuatu?”
“Gak perlu. Aku bisa buat sendiri,”
jawabnya datar.
Dia bangun begitu saja dan meninggalkanku. Benar-benar
manusia dingin.
“Aku tahu kemampuan memasakmu, jadi biar
aku saja yang masak.”
Hmm yah, setiap manusia pasti ada
kelemahannya. Saat seseorang menonjol di satu bidang maka Tuhan mengambil
keahliannya di bidang lain. Sesimpel itu untuk menciptakan keadilan.
Sampai sekarang aku gak tahu apa alasannya
menikahiku, sementara dia mencintai orang lain. Gadis lain yang jauh lebih
cantik. Sampai sekarang juga, dia sama sekali belum menyentuhku kecuali
pergelangan tanganku—untuk menarikku. Meski di kamar yang sama, kami pisah
ranjang.
“Jelek,” tawa geli keluar begitu saja saat
aku memandang pantulan diriku di cermin.
“Eh? Tanggal berapa ini?”
“First Anniversary!” pekikku
tertahan menutup mulut untuk menghindari teriakan.
Gawat, aku belum menyiapkan kado apa-apa.
Bagaimana bisa aku lupa sih?
Aku berjalan ke dapur, kulihat dia sedang
memasak. Dia memang sangat keren. Memasak pun keren.
“Kenapa kamu gak mandi?” tanyanya datar
saat menydari kehadiranku.
Datar. Ekspresinya hanya itu. Yang bisa
bergerak dari wajahnya selain mulut saat berbicara, kelopak mata yang
buka-tutup, adalah alisnya yang bertaut.
“Mana mungkin aku biarkan Suamiku memasak
sendirian?” ucapku sambil menggeser kursi lalu duduk.
Dia, Rendi kembali menghela napas dalam
seperti kebiasaannya di hari-hari sebelumnya. “Ini kan yang terjadi setiap
hari? Dan biasanya aku yang bangun lebih dulu. Kamu bangun lebih dulu itu
adalah keajaiban.”
“Aaahh kamu selalu jahat begitu Ren,”
ucapku sedikit kesal. Menopang kepalaku di tangan.
Mana bisa aku kesal banyak-banyak karena
yang dikatakannya adalah kenyataan.
“Kalau kamu gak mandi sekarang, kamu bisa
telat ke sekolah loh!”
Ah, betul juga! Aku harus cepat!
Aku langsung kembali ke kamar dan mandi
lalu buru-buru kembali ke dapur dengan kimono. Secepat mungkin.
“Ya ampun! Kamu mandi bebek? Kenapa cepat
betul sih?”
“Hehe…”
Kumasukkan satu sendok nasi goreng yang ada
di meja ke dalam mulutku. Enak.
“Apanya yang ‘hehe’? Berapa sih umurmu,
cepat pakai dulu bajumu baru makan!”
Gawat, dia lagi kesal. Aku harus kembali ke kamar dan memakai
seragam lalu kembali ke dapur secepat kilat.
“Kamu ini ceroboh ya?”
“He??” aku bingung tapi tetap saja
menyantap nasi goreng yang tadi sempat dia tinggalkan.
Dia mendekat dan memperbaiki dasi kupu-kupu
yang tadi sudah kupakai dengan rapi.
“Dasi ini Cuma perlu direkatkan tapi kamu
masih saja memakainya gak rapi begini.”
Apa yang bisa aku lakukan adalah tersenyum,
“Makasih,” tidak lupa dengan tawa kecil. Ternyata masih belum rapi di depan Mr.
Perfect ini.
“Lanjutkan saja makanmu.”
Dia suami yang baik. Dia menemani makan istri
yang gak memenuhi standar ibu rumah tangga ini.
“Kamu gak lupa PR kan?”
“Gak lah.”
“Oh, iya aku lupa. Kamu kan si Rangking
Satu.”
“Yang rangking satu itu kan kamu?”
“Itu kamu. Kamu yang sebetulnnya rangking
satu. Kamu membuat harga diriku terluka. Istri yang jauh lebih pintar dari
suami.”
Aku berhenti makan. Tiba-tiba saja nafsu
makanku yang tadi meluap-luap betul-betul meluap kini menguap.
“Kenapa?” tanya Rendi, sepertinya dia
menyadari keanehanku.
Aku tersenyum dan kembali memasukkan satu
sendok nasi yang tadi tertahan, “Gak apa-apa.”
“Kamu harus fokus. Ini semester terakhirmu
di SMA.”
Ya, aku masih SMA. Tahun Lalu tepat di
tanggal yang sama dengan hari ini kami menikah. Suamiku memang hebat. Dia sudah
mengambil alih perusahaan ayahnya di tahun pertamanya kuliah. Dia memang hebat.
Karena khayalan kecilku dan aku selalu saja
tertawa-tawa kecil—di setiap khayalanku tentang Rendi— dan tiba-tiba saja batuk
datang tanpa diundang.
“Ya ampun! Ini minum,” ucap Rendi sambil
menyodorkan segelas susu.
Tanpa pikir panjang aku langsung menerima
gelas yang dia sodorkan dan meminumnya dengan cepat.
Ahh lega.
“Ayo cepat. Aku antar kamu.”
“He?”
“Aku antar kamu.”
“APA!?”
“Kenapa kaget begitu?”
“Bi-biasanya kamu bakal bilang ‘pergi sana
naik angkot’ atau ‘aku harus cepat ke kantor’ atau ‘aku ada kuliah pagi’ atau…”
ucap Mawar tidak percaya.
“Kamu mau aku antar apa gak?”
“Mau!” jawab Mawar cepat.
“Kalau gitu buruan. Aku bisa telat ke
kantor nanti.”
“Tapi, memangnya kamu gak mandi dulu apa?”
“Nanti aku pulang dulu sebelum ke kantor.
Kamu gak usah khawatir begitu, aku gak akan turun dari mobil dengan penampilan
begini.”
Kuletakkan piring dan gelas kotor di tempat
cucian piring, “Tapi kalau kamu turun dari mobil juga gak bakal ada yang tahu
kalau kamu belum mandi.”
“Karena aku keren kan?”
Dia selalu saja narsis begitu, tapi
masalahnya adalah dia gak berekspresi saat seperti ini. Benar-benar lucu.
Lagi-lagi aku tertawa geli begini.
“Kamu ini, apa sih yang dari tadi kamu
tertawakan?”
Karena aku sudah melihat api menyala-nyala
di belakang Rendi yang sedang melipat tangan di dada, “Gak ada!” jawabku sambil
berlari cepat ke luar rumah.
“Nanti aku jemput kamu. Jadi, kalau kamu
ada jadwal apapun bersama teman-temanmu, sebaiknya kamu batalkan.”
Kuhela napas lelah, “Kamu sendiri kan juga
tahu, aku gak betul-betul punya teman.”
“Baguslah,” aku tahu Rendi melirik sebentar
tapi aku gak melepaskan pandanganku dari spion.
“Jangan tersenyum tiba-tiba tanpa alasan.
Orang-orang bisa anggap kamu gila.”
“Iya, iya.”
Dasar nyebelin.
Setelah mendengar jawabanku, tanpa ada
ciuman di kening, dia menutup kaca mobil dan langsung melaju. Memang tidak
pernah selain pergelangan tanganku.
Aku bisa mendengar bisik-bisik orang yang
melihatku turun dari mobil.
“Itu kakak kelas kita kan? Kak Rendi kan?”
“Yang selalu jadi juara umum selama tiga
tahun berturut-turut?”
“Terus itu Mawar? Katanya mereka menikah
ya?”
“Aaah aku gak percaya gosip murahan begitu!
Toh dia masih sekolah dan gak punya anak. Itu Cuma gosip.”
“Kenapa kak Rendi yang pintar itu
mau-maunya nikahin cewek kayak Mawar gitu ya?”
“Iya, padahal dia gak pintar lho! Kudengar nilai-nilainya
selalu pas sama KKM!”
“Aaahhh…”
Aku gak mau dengar. Kulangkahkan kakiku
lebar-lebar. Kufokuskan pikiranku pada tiap langkahku supaya gak mendengar lagi
bisik-bisik yang nyaring itu.
Inilah yang selalu aku takutkan kalau Rendi
mengantarku ke sekolah.
Pelajaran hari ini terasa lama sekali. Aku
bisa mendengar udara panas meraung-raung. Aku juga meraung-raung. Ini kelas
paling jelek yang pernah ada di sekolah ini.
Konsentrasi ke pelajaran betul-betul susah.
“Wah! Kamu Mawar yang dapat beasiswa itu
kan?” tanya seorang gadis dengan riang.
“Iya,” aku menjawabnya tersenyum tulus.
Akhirnya punya teman baru!
“Kamu pasti pintar bisa jawab semua
pertanyaan dengan benar!”
“Gak juga. Itu keberuntungan.”
“Kita berteman ya? Kamu harus ajarin aku!”
Aku terdiam terdiam, rasanya yang seperti
ini pernah terjadi sebelumnya.
“Berteman dan ajarin itu yang kamu maksud
adalah aku selalu ngerjain PR dan kamu hanya copas?”
Wajah gadis itu menjadi kaku dan pucat. Aku
betul-betul tahu apa yang gadis itu pikirkan.
“Maaf ya. Aku kan sudah bilang, itu
keberuntungan saja.”
Setelah itu, Aku tidak pernah berbicara
pada siapa pun untuk alasan apapun kecuali kerja kelompok. Aku gak peduli
teman-teman di kelas menganggapku aneh.
Menyebalkan. Apa mereka selalu seperti ini
ya demi keuntungan sendiri tanpa mau tahu perasaan orang lain?
Aku gak mau membuat hubungan apapun lagi.
Bel pelajaran terakhir berbunyi sekaligus
menyadarkanku dari lamunan. Aku bergegas dengan maksud membeli sesuatu dulu
karena kupikir Rendi pasti terlambat, tapi…
“Ribut-ribut apa sih ini?”
“Ahhh Kak Rendi datang ke sekolah! Apa dia
datang ke klub Basket? Aku gak percaya… aku bisa melihatnya langsung begini!”
Kenapa dia bisa datang secepat ini?
“Yo!”
Sapaan macam apa itu? Apa begitu menyapa
seorang istri?
“Iya.”
“Kamu lama banget, ayo cepat.”
Dia selalu berekspresi datar seperti itu
walau di depan istrinya. Aku iri sama cewek yang dia cintai. Aku pernah
melihatnya tertawa di depan mantannya, kak Lavender.
Cemburu.
Dia lagi-lagi menarik tanganku. Bukan
menggandeng tanganku.
Jelas-jelas aku pernah lihat dia bisa
merangkul cewek, dia pernah merangkul kak Lavender.
Iya sih, aku kalah cantik sama kak Lavender
yang tinggi kalau ditanya mereka serasi apa gak, jawabannya mereka serasi dari
berbagai macam sudut pandang. Sedangkan aku Cuma seratus lima puluh lebih satu
sentimeter.
Dia diam lagi. Di mobil dia Cuma diam.
Selalu begini kalau aku gak coba ngobrol duluan. Karena moodku lagi buruk aku
memilih diam dan memandang ke luar jendela.
“Kenapa kamu lama banget sih tadi?”
“Harusnya kamu tahu kalau waktu pulang
adalah jam tiga sore.”
“Tapi kan kamu bisa lebih cepat lagi?”
Aku sudah berusaha secepat mungkin karena
aku mau membeli sesuatu untukmu, tapi aku pikir itu gak perlu! “Mana bisa aku berjalan cepat di lautan
cewek-cewek yang mengagumimu. Mereka gak ngebiarin aku lewat.”
Hening lagi.
Apa dia mengajakku mengobrol Cuma untuk
mengajakku bertengkar?
“Harusnya kamu tahu kalau ini juga jam
pulang dan kita bisa kena macet.”
Uh! Kenapa dia masih saja meneruskan
celotehannya sih!? “Karena kamu gak sesuka itu sama macet, harusnya kamu
gak perlu jemput aku. Itu kan alasanmu selama ini? Kalau kamu sebenci itu
menikah sama aku, harusnya kamu tolak saja keinginan ayahmu itu. Kenapa selalu
mengajakku bertengkar!??”
“Kamu kenapa sih? Kamu lagi datang bulan?”
Pertanyaan macam apa itu? “Gak. Sama sekali gak. Jadi jangan mikir
ini semua dipicu sama hal itu! Ah, sudahlah. Aku capek… kamu selalu seperti ini
di saat yang penting.”
Tanpa melihatnya pun aku tahu, dia pasti
menautkan alisnya kali ini. Sampai sekarang aku gak pernah tahu perasaannya
yang sebenarnya. Dia juga sama sekali gak pernah bilang dia menyukaiku.
Tanpa sadar, ini bukan jalan menuju rumah
kami. Sebenarnya aku mau bertanya tapi aku betul-betul lagi kesal. Sangat
kesal.
“Ayo turun.”
“Di mana kita?”
“Kenapa nada bicaramu begitu?”
Aku gak peduli.
“Di mana kita?”
Dia diam saja dan menarik tanganku
sampai-sampai aku hampir mencium tanah. Kalau dia selalu punya cara begini
harusnya dia gak perlu memintaku turun dan menarik tanganku saja dari awal.
Dia menarikku menuju lift tanpa banyak
bicara. Tiba-tiba lift berhenti, tandanya ada orang yang menekan tombol lift.
Itu dia! Cewek yang baru saja mengacaukan
pikiranku. Sekarang pun masih.
“Ah, Rendi? Gak nyangka kita ketemu di
sini,” ucapnya lembut tapi di telinga Mawar itu seperti dibuat-buat.
Rendi tersenyum, “Kamu kan memang tahu aku
bakal ke sini.”
“Ah, iya. Betul juga.”
“Oh iya Mawar, ini Lavender. Manajer di
sini.”
“Halo, aku Lavender.”
Lagi-lagi sikapnya begitu. Kenapa di lift
ini gak ada orang lain sih!
“Iya, aku Mawar.”
Dan yang lebih penting… ah, kenapa aku
malah senyum begini sama dia sih!?
“Ah, aku turun di sini. Rendi kasih tahu
hasilnya ya, SMS aku nanti.”
“Ini semua kan berkat bantuanmu, terima
kasih.”
Rendi senyum. Tersenyum. Yang sama sekali
gak pernah dia tunjukkan padaku tapi dia tersenyum di depan cewek itu.
Pintu lift tertutup dan kembali dan saat
itu senyum Rendi menghilang.
“Sudah, cukup aku mau pulang.”
Aku berusaha menekan tombol lift tapi Rendi
menghalangi tanganku.
“Kenapa pulang?”
“Aku Cuma mau pulang. Aku capek. Bahkan aku
belum ganti baju.”
“Kalau kamu mau ganti baju, kita bisa
mampir ke lantai dua belas tempat pakaian.”
Kenapa dia gak bisa sensitif sama aku aku
sih!
“Aku mau pulang…”
“Kamu cemburu?”
Pertanyaan macam apa itu? Kamu tersenyum di
depan istrimu yang sama sekali gak pernah kamu kasih senyum, jelas saja
jawabanku iya. “Gak.”
“Ya, kamu gak perlu cemburu.”
Sudah, begitu saja. Dia dengan entengnya
menanggapi.
Pintu lift terbuka dan dia menarikku lagi
tapi aku berusaha bertahan di lift karena aku mau pulang. Aku mau makan yang
banyak.
Dengan satu sentakan keras dia menarikku.
“Aku gak masak apapun di rumah jadi kita
makan di sini.”
“Aku bisa masak sendiri kok. Kamu gak perlu
ikut makan kalau kamu gak mau!”
Dia tidak merespon dan terus menarikku ke
dalam restoran.
“Duduk dulu di sini.”
Ya, aku mau makan banyak. Kamu lihat saja
apa yang aku pesan. Aku akan menguras tabunganmu!
Seorang pelayan datang saat aku mengalihkan
fokusku ke luar jendela memperhatikan mobil yang bergerak lambat di bawah sana.
“Kamu mau pesan apa?”
Tanpa menjawab, aku membolak balik daftar
menu dan menunjuk menu-menu yang menarik perhatianku.
Dia tertawa kecil, tanpa ekspresi tentunya.
“Tuan, ini…”
Aku tahu pelayan itu menanyakan kesungguhan
pesanan yang aku buat dan Rendi mengiyakan.
“Ada apa denganmu hari ini?”
Rendi memulai pembicaraan dan aku
menganggapnya sebagai memulai pertengkaran lagi.
“Aku kenapa memangnya? Aku gak apa-apa.”
“Kalau memang gak apa-apa, kenapa nada
bicaramu begitu dan kamu gak mau melihat ke arahku.”
Dengan malas aku menoleh ke arahnya. Aku
terkejut, dia tersenyum. Ah, aku tahu ini pasti karena dia baru saja ketemu Kak
Lavender.
“A-aku sudah melihat ke arahmu. Sudah
kubilang aku gak apa-apa.”
“Baguslah.”
Saat itu, makanan pembuka datang dan aku
menghabiskannya dengan cepat.
“Aku suka kalau kamu makan banyak begitu.”
Iya aku juga suka dan sialnya aku gak bisa
gemuk walau sebanyak apapun aku makan sesuatu.
“Sudah kenyang? Ayo, pulang.”
Aku mengangguk saja karena malu. Walau dia
suamiku, dia sudah sangat tahu nafsu makanku yang lebih, tetap saja, makan di
depan orang yang disuka dengan berlebihan itu memalukan.
Ini semua gara-gara dia membuatku emosi!
Di lantai bawah lagi-lagi Kak Lavender
muncul.
“Ah, Rendi. Gimana?”
Rendi tersenyum lagi. Sudah aku bilang dia
tersenyum padaku karena efek bertemu Kak Lavender.
“Iya, bagus. AH, aku harus pulang. Sudah
sore.”
“Iya.”
Kak Lavender melambaikan tangan sambil tersenyum.
Moodku entah bagaimana caranya jadi jauh
lebih buruk dari sebelumnya. Rasanya betul-betul panas.
“Kenapa kamu turunin suhu AC-nya? Kamu bisa
masuk angin nanti.”
“Gak, rasanya panas.”
Dia gak ngomong apa-apa lagi dan langsung
membawaku ke rumah. Rendi membuka pintu dengan cepat lalu menyeretku ke kursi
ruang tamu. Bahkan tidak menyalakan lampu dulu.
“Kamu kenapa?”
Dia duduk membelakangi cahaya, wajahnya
gelap. Tapi, aku tahu, seperti biasa pasti tanpa ekspresi.
“Kamu cemburu?” tanyanya lagi karena aku
gak juga menjawab.
“Kenapa diam saja?” dia bertanya lagi.
“Iya! Iya! Iya, aku cemburu. Kenapa? kenapa
kamu Cuma megang tanganku? Kenapa kamu bisa tersenyum untuknya sedang aku gak?”
“Bukannya tadi aku juga senyum?”
“Kenapa? Itu pasti karena sebelumnya kamu
ketemu Kak Lavender kan? Kamu sama sekali gak pernah nunjukkin ekspresi apapun
sama aku tapi kamu selalu tertawa di depannya!”
Sudah, cukup. Aku gak tahan. Air mataku
betul-betul tumpah. Kenapa hari ini jadi kacau begini?!
Aku melihat siluetnya menjadi sedih, detik
berikutnya dia memelukku.
“Apa sih yang kamu pikirkan?”
Aku berusaha melepas pelukannya. Aku gak
butuh sekarang. Kenapa dia baru melakukannya sekarang?
“Apa yang aku pikirkan? Aku gak tahu kamu
sama sekali. Aku gak kenal Rendi sama sekali. Aku gak pernah dipeluknya. Aku
gak pernah melihatnya tersenyum. Aku mau tahu lebih banyak, lebih banyak
tentang apa yang kamu pikirkan dan apa yang kamu rasakan!”
Pelukannya semakin erat.
“Aku gak betul-betul tersenyum saat bertemu
Lavender, aku hanya berterima kasih padanya. Aku gak mau membuatmu khawatir
karena aku tahu kamu orang seperti apa karena itu aku gak mau kasih tahu kamu…”
“Apa? Apa yang gak mau kamu kasih tahu?
Bagiku yang bahkan selalu panik adalah tahu perasaan suamiku. Tapi kamu gak mau
tahu apa yang aku rasakan. Kamu bilang menjagaku tapi kamu malah merusaknya.”
Pelukannya mengendur dan aku melepas
pelukannya dan berlari ke kamar. Aku menangis di bantal. Hari ini melelahkan.
Hari bahagiaku hancur.
Rendi masuk ke kamar dan menyalakan lampu.
“Jangan dinyalakan!”
Tapi, dia gak juga mematikan lampu dan
duduk di pinggir tempat tidurku. Aku membelakanginya karena kesal, juga gak mau
kasih lihat wajahku yang jelek kalau menangis.
“Maafkan aku.”
“Kamu minta maaf untuk apa?”
“Mawar, lihat aku kalau kita lagi ngobrol.”
Aku gak bergeming dan tidak menjawab
apa-apa.
Aku menarik selimut sampai ke kepalaku tapi
dia tiba-tiba masuk ke dalam selimut dan memelukku dari belakang.
“Kamu gak mau memaafkan aku?”
Apa sih yang dia pikirin? Memangnya dengan
dia memelukku begini aku bakal langsung maafin dia?
Aku bisa merasakan napasnya yang panas di
leherku. Desahan napasnya berat.
“Aku menyukaimu Mawar, karena itu aku gak
mau membuat kamu khawatir sedikit pun.”
Aku gak peduli. Memangnya dengan dia
bilang dia suka aku di saat begini aku bakal luluh?
“Aku juga betul-betul tersiksa karena gak
bisa kasih tahu apa yang aku rasakan. Tapi, ini terjadi begitu saja di luar
kesadaranku.”
Apa dia gila? Bersikap dingin pada istri
itu di luar kesadarannya dia bilang.
“Kalau sampai di luar kesadaran, artinya
kamu sebegitunya membenciku.”
Dia menghela napas berat lagi dan aku
merasa merinding karena napasnya betul-betul panas.
“Aku tadinya gak mau kasih tahu kamu
apa-apa…”
Nah, dia punya rahasia dan gak membiarkan
istrinya tahu.
“Aku selalu ingin memelukmu tapi aku takut
aku akan lepas kontrol kalau aku melakukannya. Memegang tanganmu saja rasanya
berat. Karena kamu bilang kamu mau menyelesaikan sekolah dengan baik.”
Makanya… ehh… apa-apaan dia ini! Kenapa dia
menciumi leherku begini, membuatku merinding saja.
“Hei, hentikan.”
Rendi memelukku semakin erat dan dia
melepas kancing bajuku lalu memasukkan
tangannya ke dalam. Meraba perutku dan membuat jantungku melonjak kaget.
“Hei, berhenti Ren.”
Aku memegang tangannya bermaksud menghentikan
tangannya sebelum sampai ke wilayah tertentu. Tapi dia tetap saja laki-laki,
lebih kuat dari aku.
“Aku memaafkanmu jadi tolong hentikan.”
Dia berhenti mencoba menyentuh milikku dan
menciumi leherku, “Kalau kamu memang memaafkanku kamu harus melihatku saat
ngomong.”
Aku berbalik ke arahnya dan melihatnya
sedang tersenyum.
“Senyum seperti ini cuma bakal aku kasih
lihat ke kamu dan ciuman ini,” dia mengecupku lembut, “cuma buat orang yang
sayangi.”
Dalam sekejap dia sudah melumat bibirku
lembut. Aku yang jujur saja belum pernah berciuman bisa mengikuti permainannya.
Ah, kenapa jantungku berdebar-debar begini…
Tapi, kenapa dia berhenti menciumku dan
rasanya aku kecewa berat saat bibirnya menjauh dariku.
“Kamu tahu, ini berat. Karena aku
betul-betul harus menahan nafsuku setiap kamu keluar kamar mandi Cuma memakai
kimono. Saat kamu tidur. Setiap saat betul-betul berat dan aku selalu berusaha
untuk gak menyentuhmu.”
Dia memelukku lagi. Lebih erat dan hangat.
Aku merasa nyaman di pelukannya. Menyenangkan.
Seandainya ini mimpi, aku memilih untuk tidur selamanya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
write your comment here...