10 Februari 2014

You are the Person I Like the Most

Judul: You are the Person I Like the Most: Anniversary (wife’s side)
Length: oneshoot
Genre: romance (ceritanya sih gitu), drama (maunya juga gitu), dewasa (mungkin, tapi gak ahh)
Penulis: Indara/Finda Rahmadaniati/pemilik blog greenfira.blogspot.com

You are The Person I Like The Most : Anniversary (wife's side)


Aku gak percaya aku menikah dengan orang nomor satu paling diinginkan remaja Indonesia!
Haha, aku bercanda. Dia gak seterkenal itu, tapi dia cukup terkenal karena ketampanannya dan kepandaiannya.
Aku gak tahu setan apa yang ada di sampingnya, aku juga gak tahu apa yang dibisikkan setan waktu dia ngomong begitu. Sampai sekarang, yang aku pikirkan adalah dia orang gila. Ya, orang gila paling kece yang pernah ada!
“Selamat pagi, mau kopi?” Pertanyaan ini selalu saja aku lontarkan begitu melihat matanya terbuka.
Dia sudah membuka matanya, pasti dia mendengarku, tapi dia tidak juga menjawab, “Kamu juga mau sarapan sesuatu?”
“Gak perlu. Aku bisa buat sendiri,” jawabnya datar.
Dia bangun begitu saja dan meninggalkanku. Benar-benar manusia dingin.
“Aku tahu kemampuan memasakmu, jadi biar aku saja yang masak.”
Hmm yah, setiap manusia pasti ada kelemahannya. Saat seseorang menonjol di satu bidang maka Tuhan mengambil keahliannya di bidang lain. Sesimpel itu untuk menciptakan keadilan.
Sampai sekarang aku gak tahu apa alasannya menikahiku, sementara dia mencintai orang lain. Gadis lain yang jauh lebih cantik. Sampai sekarang juga, dia sama sekali belum menyentuhku kecuali pergelangan tanganku—untuk menarikku. Meski di kamar yang sama, kami pisah ranjang.
“Jelek,” tawa geli keluar begitu saja saat aku memandang pantulan diriku di cermin.
“Eh? Tanggal berapa ini?”
First Anniversary!” pekikku tertahan menutup mulut untuk menghindari teriakan.
Gawat, aku belum menyiapkan kado apa-apa. Bagaimana bisa aku lupa sih?


Aku berjalan ke dapur, kulihat dia sedang memasak. Dia memang sangat keren. Memasak pun keren.
“Kenapa kamu gak mandi?” tanyanya datar saat menydari kehadiranku.
Datar. Ekspresinya hanya itu. Yang bisa bergerak dari wajahnya selain mulut saat berbicara, kelopak mata yang buka-tutup, adalah alisnya yang bertaut.
“Mana mungkin aku biarkan Suamiku memasak sendirian?” ucapku sambil menggeser kursi lalu duduk.
Dia, Rendi kembali menghela napas dalam seperti kebiasaannya di hari-hari sebelumnya. “Ini kan yang terjadi setiap hari? Dan biasanya aku yang bangun lebih dulu. Kamu bangun lebih dulu itu adalah keajaiban.”
“Aaahh kamu selalu jahat begitu Ren,” ucapku sedikit kesal. Menopang kepalaku di tangan.
Mana bisa aku kesal banyak-banyak karena yang dikatakannya adalah kenyataan.
“Kalau kamu gak mandi sekarang, kamu bisa telat ke sekolah loh!”
Ah, betul juga! Aku harus cepat!
Aku langsung kembali ke kamar dan mandi lalu buru-buru kembali ke dapur dengan kimono. Secepat mungkin.
“Ya ampun! Kamu mandi bebek? Kenapa cepat betul sih?”
“Hehe…”
Kumasukkan satu sendok nasi goreng yang ada di meja ke dalam mulutku. Enak.
“Apanya yang ‘hehe’? Berapa sih umurmu, cepat pakai dulu bajumu baru makan!”
Gawat, dia lagi kesal. Aku harus kembali ke kamar dan memakai seragam lalu kembali ke dapur secepat kilat.
“Kamu ini ceroboh ya?”
“He??” aku bingung tapi tetap saja menyantap nasi goreng yang tadi sempat dia tinggalkan.
Dia mendekat dan memperbaiki dasi kupu-kupu yang tadi sudah kupakai dengan rapi.
“Dasi ini Cuma perlu direkatkan tapi kamu masih saja memakainya gak rapi begini.”
Apa yang bisa aku lakukan adalah tersenyum, “Makasih,” tidak lupa dengan tawa kecil. Ternyata masih belum rapi di depan Mr. Perfect ini.
“Lanjutkan saja makanmu.”
Dia suami yang baik. Dia menemani makan istri yang gak memenuhi standar ibu rumah tangga ini.
“Kamu gak lupa PR kan?”
“Gak lah.”
“Oh, iya aku lupa. Kamu kan si Rangking Satu.”
“Yang rangking satu itu kan kamu?”
“Itu kamu. Kamu yang sebetulnnya rangking satu. Kamu membuat harga diriku terluka. Istri yang jauh lebih pintar dari suami.”
Aku berhenti makan. Tiba-tiba saja nafsu makanku yang tadi meluap-luap betul-betul meluap kini menguap.
“Kenapa?” tanya Rendi, sepertinya dia menyadari keanehanku.
Aku tersenyum dan kembali memasukkan satu sendok nasi yang tadi tertahan, “Gak apa-apa.”
“Kamu harus fokus. Ini semester terakhirmu di SMA.”
Ya, aku masih SMA. Tahun Lalu tepat di tanggal yang sama dengan hari ini kami menikah. Suamiku memang hebat. Dia sudah mengambil alih perusahaan ayahnya di tahun pertamanya kuliah. Dia memang hebat.
Karena khayalan kecilku dan aku selalu saja tertawa-tawa kecil—di setiap khayalanku tentang Rendi— dan tiba-tiba saja batuk datang tanpa diundang.
“Ya ampun! Ini minum,” ucap Rendi sambil menyodorkan segelas susu.
Tanpa pikir panjang aku langsung menerima gelas yang dia sodorkan dan meminumnya dengan cepat.
Ahh lega.
“Ayo cepat. Aku antar kamu.”
“He?”
“Aku antar kamu.”
“APA!?”
“Kenapa kaget begitu?”
“Bi-biasanya kamu bakal bilang ‘pergi sana naik angkot’ atau ‘aku harus cepat ke kantor’ atau ‘aku ada kuliah pagi’ atau…” ucap Mawar tidak percaya.
“Kamu mau aku antar apa gak?”
“Mau!” jawab Mawar cepat.
“Kalau gitu buruan. Aku bisa telat ke kantor nanti.”
“Tapi, memangnya kamu gak mandi dulu apa?”
“Nanti aku pulang dulu sebelum ke kantor. Kamu gak usah khawatir begitu, aku gak akan turun dari mobil dengan penampilan begini.”
Kuletakkan piring dan gelas kotor di tempat cucian piring, “Tapi kalau kamu turun dari mobil juga gak bakal ada yang tahu kalau kamu belum mandi.”
“Karena aku keren kan?”
Dia selalu saja narsis begitu, tapi masalahnya adalah dia gak berekspresi saat seperti ini. Benar-benar lucu.
Lagi-lagi aku tertawa geli begini.
“Kamu ini, apa sih yang dari tadi kamu tertawakan?”
Karena aku sudah melihat api menyala-nyala di belakang Rendi yang sedang melipat tangan di dada, “Gak ada!” jawabku sambil berlari cepat ke luar rumah.
“Nanti aku jemput kamu. Jadi, kalau kamu ada jadwal apapun bersama teman-temanmu, sebaiknya kamu batalkan.”
Kuhela napas lelah, “Kamu sendiri kan juga tahu, aku gak betul-betul punya teman.”
“Baguslah,” aku tahu Rendi melirik sebentar tapi aku gak melepaskan pandanganku dari spion.

“Jangan tersenyum tiba-tiba tanpa alasan. Orang-orang bisa anggap kamu gila.”
“Iya, iya.”
Dasar nyebelin.
Setelah mendengar jawabanku, tanpa ada ciuman di kening, dia menutup kaca mobil dan langsung melaju. Memang tidak pernah selain pergelangan tanganku.
Aku  bisa mendengar bisik-bisik orang yang melihatku turun dari mobil.
“Itu kakak kelas kita kan? Kak Rendi kan?”
“Yang selalu jadi juara umum selama tiga tahun berturut-turut?”
“Terus itu Mawar? Katanya mereka menikah ya?”
“Aaah aku gak percaya gosip murahan begitu! Toh dia masih sekolah dan gak punya anak. Itu Cuma gosip.”
“Kenapa kak Rendi yang pintar itu mau-maunya nikahin cewek kayak Mawar gitu ya?”
“Iya, padahal dia gak pintar lho! Kudengar nilai-nilainya selalu pas sama KKM!”
“Aaahhh…”
Aku gak mau dengar. Kulangkahkan kakiku lebar-lebar. Kufokuskan pikiranku pada tiap langkahku supaya gak mendengar lagi bisik-bisik yang nyaring itu.
Inilah yang selalu aku takutkan kalau Rendi mengantarku ke sekolah.

Pelajaran hari ini terasa lama sekali. Aku bisa mendengar udara panas meraung-raung. Aku juga meraung-raung. Ini kelas paling jelek yang pernah ada di sekolah ini.
Konsentrasi ke pelajaran betul-betul susah.

“Wah! Kamu Mawar yang dapat beasiswa itu kan?” tanya seorang gadis dengan riang.
“Iya,” aku menjawabnya tersenyum tulus.
Akhirnya punya teman baru!
“Kamu pasti pintar bisa jawab semua pertanyaan dengan benar!”
“Gak juga. Itu keberuntungan.”
“Kita berteman ya? Kamu harus ajarin aku!”
Aku terdiam terdiam, rasanya yang seperti ini pernah terjadi sebelumnya.
“Berteman dan ajarin itu yang kamu maksud adalah aku selalu ngerjain PR dan kamu hanya copas?”
Wajah gadis itu menjadi kaku dan pucat. Aku betul-betul tahu apa yang gadis itu pikirkan.
“Maaf ya. Aku kan sudah bilang, itu keberuntungan saja.”
Setelah itu, Aku tidak pernah berbicara pada siapa pun untuk alasan apapun kecuali kerja kelompok. Aku gak peduli teman-teman di kelas menganggapku aneh.
Menyebalkan. Apa mereka selalu seperti ini ya demi keuntungan sendiri tanpa mau tahu perasaan orang lain?
Aku gak mau membuat hubungan apapun lagi.

Bel pelajaran terakhir berbunyi sekaligus menyadarkanku dari lamunan. Aku bergegas dengan maksud membeli sesuatu dulu karena kupikir Rendi pasti terlambat, tapi…
“Ribut-ribut apa sih ini?”
“Ahhh Kak Rendi datang ke sekolah! Apa dia datang ke klub Basket? Aku gak percaya… aku bisa melihatnya langsung begini!”
Kenapa dia bisa datang secepat ini?
“Yo!”
Sapaan macam apa itu? Apa begitu menyapa seorang istri?
“Iya.”
“Kamu lama banget, ayo cepat.”
Dia selalu berekspresi datar seperti itu walau di depan istrinya. Aku iri sama cewek yang dia cintai. Aku pernah melihatnya tertawa di depan mantannya, kak Lavender.
Cemburu.
Dia lagi-lagi menarik tanganku. Bukan menggandeng tanganku.
Jelas-jelas aku pernah lihat dia bisa merangkul cewek, dia pernah merangkul kak Lavender.
Iya sih, aku kalah cantik sama kak Lavender yang tinggi kalau ditanya mereka serasi apa gak, jawabannya mereka serasi dari berbagai macam sudut pandang. Sedangkan aku Cuma seratus lima puluh lebih satu sentimeter.
Dia diam lagi. Di mobil dia Cuma diam. Selalu begini kalau aku gak coba ngobrol duluan. Karena moodku lagi buruk aku memilih diam dan memandang ke luar jendela.
“Kenapa kamu lama banget sih tadi?”
“Harusnya kamu tahu kalau waktu pulang adalah jam tiga sore.”
“Tapi kan kamu bisa lebih cepat lagi?”
Aku sudah berusaha secepat mungkin karena aku mau membeli sesuatu untukmu, tapi aku pikir itu gak perlu! “Mana bisa aku berjalan cepat di lautan cewek-cewek yang mengagumimu. Mereka gak ngebiarin aku lewat.”
Hening lagi.
Apa dia mengajakku mengobrol Cuma untuk mengajakku bertengkar?
“Harusnya kamu tahu kalau ini juga jam pulang dan kita bisa kena macet.”
Uh! Kenapa dia masih saja meneruskan celotehannya sih!? “Karena kamu gak sesuka itu sama macet, harusnya kamu gak perlu jemput aku. Itu kan alasanmu selama ini? Kalau kamu sebenci itu menikah sama aku, harusnya kamu tolak saja keinginan ayahmu itu. Kenapa selalu mengajakku bertengkar!??”
“Kamu kenapa sih? Kamu lagi datang bulan?”
Pertanyaan macam apa itu? “Gak. Sama sekali gak. Jadi jangan mikir ini semua dipicu sama hal itu! Ah, sudahlah. Aku capek… kamu selalu seperti ini di saat yang penting.”
Tanpa melihatnya pun aku tahu, dia pasti menautkan alisnya kali ini. Sampai sekarang aku gak pernah tahu perasaannya yang sebenarnya. Dia juga sama sekali gak pernah bilang dia menyukaiku.
Tanpa sadar, ini bukan jalan menuju rumah kami. Sebenarnya aku mau bertanya tapi aku betul-betul lagi kesal. Sangat kesal.
“Ayo turun.”
“Di mana kita?”
“Kenapa nada bicaramu begitu?”
Aku gak peduli.
“Di mana kita?”
Dia diam saja dan menarik tanganku sampai-sampai aku hampir mencium tanah. Kalau dia selalu punya cara begini harusnya dia gak perlu memintaku turun dan menarik tanganku saja dari awal.
Dia menarikku menuju lift tanpa banyak bicara. Tiba-tiba lift berhenti, tandanya ada orang yang menekan tombol lift.
Itu dia! Cewek yang baru saja mengacaukan pikiranku. Sekarang pun masih.
“Ah, Rendi? Gak nyangka kita ketemu di sini,” ucapnya lembut tapi di telinga Mawar itu seperti dibuat-buat.
Rendi tersenyum, “Kamu kan memang tahu aku bakal ke sini.”
“Ah, iya. Betul juga.”
“Oh iya Mawar, ini Lavender. Manajer di sini.”
“Halo, aku Lavender.”
Lagi-lagi sikapnya begitu. Kenapa di lift ini gak ada orang lain sih!
“Iya, aku Mawar.”
Dan yang lebih penting… ah, kenapa aku malah senyum begini sama dia sih!?
“Ah, aku turun di sini. Rendi kasih tahu hasilnya ya, SMS aku nanti.”
“Ini semua kan berkat bantuanmu, terima kasih.”
Rendi senyum. Tersenyum. Yang sama sekali gak pernah dia tunjukkan padaku tapi dia tersenyum di depan cewek itu.
Pintu lift tertutup dan kembali dan saat itu senyum Rendi menghilang.
“Sudah, cukup aku mau pulang.”
Aku berusaha menekan tombol lift tapi Rendi menghalangi tanganku.
“Kenapa pulang?”
“Aku Cuma mau pulang. Aku capek. Bahkan aku belum ganti baju.”
“Kalau kamu mau ganti baju, kita bisa mampir ke lantai dua belas tempat pakaian.”
Kenapa dia gak bisa sensitif sama aku aku sih!
“Aku mau pulang…”
“Kamu cemburu?”
Pertanyaan macam apa itu? Kamu tersenyum di depan istrimu yang sama sekali gak pernah kamu kasih senyum, jelas saja jawabanku iya. “Gak.”
“Ya, kamu gak perlu cemburu.”
Sudah, begitu saja. Dia dengan entengnya menanggapi.
Pintu lift terbuka dan dia menarikku lagi tapi aku berusaha bertahan di lift karena aku mau pulang. Aku mau makan yang banyak.
Dengan satu sentakan keras dia menarikku.
“Aku gak masak apapun di rumah jadi kita makan di sini.”
“Aku bisa masak sendiri kok. Kamu gak perlu ikut makan kalau kamu gak mau!”
Dia tidak merespon dan terus menarikku ke dalam restoran.
“Duduk dulu di sini.”
Ya, aku mau makan banyak. Kamu lihat saja apa yang aku pesan. Aku akan menguras tabunganmu!
Seorang pelayan datang saat aku mengalihkan fokusku ke luar jendela memperhatikan mobil yang bergerak lambat di bawah sana.
“Kamu mau pesan apa?”
Tanpa menjawab, aku membolak balik daftar menu dan menunjuk menu-menu yang menarik perhatianku.
Dia tertawa kecil, tanpa ekspresi tentunya.
“Tuan, ini…”
Aku tahu pelayan itu menanyakan kesungguhan pesanan yang aku buat dan Rendi mengiyakan.
“Ada apa denganmu hari ini?”
Rendi memulai pembicaraan dan aku menganggapnya sebagai memulai pertengkaran lagi.
“Aku kenapa memangnya? Aku gak apa-apa.”
“Kalau memang gak apa-apa, kenapa nada bicaramu begitu dan kamu gak mau melihat ke arahku.”
Dengan malas aku menoleh ke arahnya. Aku terkejut, dia tersenyum. Ah, aku tahu ini pasti karena dia baru saja ketemu Kak Lavender.
“A-aku sudah melihat ke arahmu. Sudah kubilang aku gak apa-apa.”
“Baguslah.”
Saat itu, makanan pembuka datang dan aku menghabiskannya dengan cepat.
“Aku suka kalau kamu makan banyak begitu.”
Iya aku juga suka dan sialnya aku gak bisa gemuk walau sebanyak apapun aku makan sesuatu.
“Sudah kenyang? Ayo, pulang.”
Aku mengangguk saja karena malu. Walau dia suamiku, dia sudah sangat tahu nafsu makanku yang lebih, tetap saja, makan di depan orang yang disuka dengan berlebihan itu memalukan.
Ini semua gara-gara dia membuatku emosi!
Di lantai bawah lagi-lagi Kak Lavender muncul.
“Ah, Rendi. Gimana?”
Rendi tersenyum lagi. Sudah aku bilang dia tersenyum padaku karena efek bertemu Kak Lavender.
“Iya, bagus. AH, aku harus pulang. Sudah sore.”
“Iya.”
Kak Lavender melambaikan tangan sambil tersenyum.
Moodku entah bagaimana caranya jadi jauh lebih buruk dari sebelumnya. Rasanya betul-betul panas.
“Kenapa kamu turunin suhu AC-nya? Kamu bisa masuk angin nanti.”
“Gak, rasanya panas.”
Dia gak ngomong apa-apa lagi dan langsung membawaku ke rumah. Rendi membuka pintu dengan cepat lalu menyeretku ke kursi ruang tamu. Bahkan tidak menyalakan lampu dulu.
“Kamu kenapa?”
Dia duduk membelakangi cahaya, wajahnya gelap. Tapi, aku tahu, seperti biasa pasti tanpa ekspresi.
“Kamu cemburu?” tanyanya lagi karena aku gak juga menjawab.
“Kenapa diam saja?” dia bertanya lagi.
“Iya! Iya! Iya, aku cemburu. Kenapa? kenapa kamu Cuma megang tanganku? Kenapa kamu bisa tersenyum untuknya sedang aku gak?”
“Bukannya tadi aku juga senyum?”
“Kenapa? Itu pasti karena sebelumnya kamu ketemu Kak Lavender kan? Kamu sama sekali gak pernah nunjukkin ekspresi apapun sama aku tapi kamu selalu tertawa di depannya!”
Sudah, cukup. Aku gak tahan. Air mataku betul-betul tumpah. Kenapa hari ini jadi kacau begini?!
Aku melihat siluetnya menjadi sedih, detik berikutnya dia memelukku.
“Apa sih yang kamu pikirkan?”
Aku berusaha melepas pelukannya. Aku gak butuh sekarang. Kenapa dia baru melakukannya sekarang?
“Apa yang aku pikirkan? Aku gak tahu kamu sama sekali. Aku gak kenal Rendi sama sekali. Aku gak pernah dipeluknya. Aku gak pernah melihatnya tersenyum. Aku mau tahu lebih banyak, lebih banyak tentang apa yang kamu pikirkan dan apa yang kamu rasakan!”
Pelukannya  semakin erat.
“Aku gak betul-betul tersenyum saat bertemu Lavender, aku hanya berterima kasih padanya. Aku gak mau membuatmu khawatir karena aku tahu kamu orang seperti apa karena itu aku gak mau kasih tahu kamu…”
“Apa? Apa yang gak mau kamu kasih tahu? Bagiku yang bahkan selalu panik adalah tahu perasaan suamiku. Tapi kamu gak mau tahu apa yang aku rasakan. Kamu bilang menjagaku tapi kamu malah merusaknya.”
Pelukannya mengendur dan aku melepas pelukannya dan berlari ke kamar. Aku menangis di bantal. Hari ini melelahkan. Hari bahagiaku hancur.
Rendi masuk ke kamar dan menyalakan lampu.
“Jangan dinyalakan!”
Tapi, dia gak juga mematikan lampu dan duduk di pinggir tempat tidurku. Aku membelakanginya karena kesal, juga gak mau kasih lihat wajahku yang jelek kalau menangis.
“Maafkan aku.”
“Kamu minta maaf untuk apa?”
“Mawar, lihat aku kalau kita lagi ngobrol.”
Aku gak bergeming dan tidak menjawab apa-apa.
Aku menarik selimut sampai ke kepalaku tapi dia tiba-tiba masuk ke dalam selimut dan memelukku dari belakang.
“Kamu gak mau memaafkan aku?”
Apa sih yang dia pikirin? Memangnya dengan dia memelukku begini aku bakal langsung maafin dia?
Aku bisa merasakan napasnya yang panas di leherku. Desahan napasnya berat.
“Aku menyukaimu Mawar, karena itu aku gak mau membuat kamu khawatir sedikit pun.”
Aku gak peduli. Memangnya dengan dia bilang dia suka aku di saat begini aku bakal luluh?
“Aku juga betul-betul tersiksa karena gak bisa kasih tahu apa yang aku rasakan. Tapi, ini terjadi begitu saja di luar kesadaranku.”
Apa dia gila? Bersikap dingin pada istri itu di luar kesadarannya dia bilang.
“Kalau sampai di luar kesadaran, artinya kamu sebegitunya membenciku.”
Dia menghela napas berat lagi dan aku merasa merinding karena napasnya betul-betul panas.
“Aku tadinya gak mau kasih tahu kamu apa-apa…”
Nah, dia punya rahasia dan gak membiarkan istrinya tahu.
“Aku selalu ingin memelukmu tapi aku takut aku akan lepas kontrol kalau aku melakukannya. Memegang tanganmu saja rasanya berat. Karena kamu bilang kamu mau menyelesaikan sekolah dengan baik.”
Makanya… ehh… apa-apaan dia ini! Kenapa dia menciumi leherku begini, membuatku merinding saja.
“Hei, hentikan.”
Rendi memelukku semakin erat dan dia melepas kancing bajuku lalu memasukkan  tangannya ke dalam. Meraba perutku dan membuat jantungku melonjak kaget.
“Hei, berhenti Ren.”
Aku memegang tangannya bermaksud menghentikan tangannya sebelum sampai ke wilayah tertentu. Tapi dia tetap saja laki-laki, lebih kuat dari aku.
“Aku memaafkanmu jadi tolong hentikan.”
Dia berhenti mencoba menyentuh milikku dan menciumi leherku, “Kalau kamu memang memaafkanku kamu harus melihatku saat ngomong.”
Aku berbalik ke arahnya dan melihatnya sedang tersenyum.
“Senyum seperti ini cuma bakal aku kasih lihat ke kamu dan ciuman ini,” dia mengecupku lembut, “cuma buat orang yang sayangi.”
Dalam sekejap dia sudah melumat bibirku lembut. Aku yang jujur saja belum pernah berciuman bisa mengikuti permainannya.
Ah, kenapa jantungku berdebar-debar begini…
Tapi, kenapa dia berhenti menciumku dan rasanya aku kecewa berat saat bibirnya menjauh dariku.
“Kamu tahu, ini berat. Karena aku betul-betul harus menahan nafsuku setiap kamu keluar kamar mandi Cuma memakai kimono. Saat kamu tidur. Setiap saat betul-betul berat dan aku selalu berusaha untuk gak menyentuhmu.”
Dia memelukku lagi. Lebih erat dan hangat.
Aku merasa nyaman di pelukannya. Menyenangkan. Seandainya ini mimpi, aku memilih untuk tidur selamanya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

write your comment here...

Blogger news