Judul : You are the Person I Like the Most, Side Story 2 : Pandangan yang Pertama
Length : oneshoot
Genre : masih sama sama yang sebelumnya
Penulis : masih yang punya blog ini
You are the Person I Like the Most
Side Story: Pandangan yang Pertama
“Jangan sampai terjadi sesuatu sama
beras-berasnya ya?”
Mawar kelas tiga SMP menjawab riang.
Hari Sabtu ini, sepulang sekolah, Mawar
mengantar beras ke kota. Hari ini, Rika ikut bersamanya karena mau nonton
pertandingan basket SMP dan SMP se-provinsi walau sekolah mereka sudah kalah di
babak penyisihan kedua.
“Paman harus kembali. Kalian gak apa-apa
nih ditinggal?”
“Gak apa kok Paman, Rika punya saudara di
sini,” jawab Rika yakin.
“Ya sudah. Paman balik ya Mawar. Kamu bisa
hubungin rumah kalau ada apa-apa.”
“Oke!”
Kalau ada apa-apa… pasti aku sempat mati
duluan kalau hubungin rumah yang jaraknya setengah hari dari sini.
“Nah, Rika. Kita ke mana sekarang?”
“Jelas ke Gor tempat pertandingannya lah…”
“Oh, iya.”
Sebenarnya maksudku bukan itu, “Biarpun aku sudah bolak-balik ke kota,
tapi aku selalu di dalam truk dan gak pernah naik angkot sendiri. Intinya, aku
gak tahu jalan.”
“He? Gak tahu? Ah, ngebosenin. Aku kira
kamu tahu.”
“Apa?”
Mawar bisa mendengar dengan jelas setiap
kata yang diucapkan Mawar, tapi dia pura-pura tidak mendengarnya. Tidak semua
hal yang tidak harus diketahui itu buruk.
“Gak ada. Ayo ke sana.”
Ramai. Banyak orang. Mawar suka!
“Rika!”
Mawar mendengar nama sahabatnya itu
dipanggil dan dia bisa melihat seorang cowok melambai ke arah mereka. Dengan
cepat Rika menuju ke arah orang itu. Mawar ditinggal tapi dia memilih untuk
mengikuti Rika.
“Siapa dia?” tanya cowok yang dipeluk Rika
mesra.
“Teman,” jawab Rika tidak berselera, “Ayo
kita masuk? Kamu sudah beli tiketnya kan?”
Cowok itu mengangguk.
“Eh? Masuknya pakai tiket?”
“Iya. Eh, pertandingannya sudah mau mulai
aku masuk duluan ya!”
Begitu saja. Rika masuk dan
meninggalkannya.
Mawar tidak punya uang banyak. Hanya uang
untuk pulang. Ini juga dia tabung selama dua minggu karena Rika sudah bilang
sebelumnya.
Mengecewakan.
Mawar melihat beberapa orang turun dari
bis. SMA Karya Bangsa tertulis di badan bis.
Waahhh keren! Cakep-cakep.
Sekelompok cowok sembilan-sepuluh orang itu
melakukan pemanasan. Seragam mereka yang keren membuat pemandangan silau di
mata Mawar. Mereka memantul-mantulkan bola lalu saling mengoper.
Keren! Keren!
Mawar memekik dalam hati saat ada seorang
cowok yang tingginya sekitar seratus delapan puluh sentimeter datang sambil
memutar bola di ujung jari telunjuknya.
Tanpa sadar, Mawar mendekat ke arah mereka.
“Wah! Kakak-kakak keren! Namaku Mawar. Ajarin
aku main dong!”
Salah seorang yang sepertinya kapten
mendekat, “Kamu masih SMP?”
Mawar mengangguk semangat, “Iya!”
“Kalau begitu kamu harus masuk Karya Bangsa
dulu baru bisa masuk klub basket.”
“Oke. Aku bakal sekolah di sana.”
“Rendi, tangkap!”
Orang yang paling keren itu menoleh
terkejut tapi sayang, dia tidak bisa menangkap operan bola tiba-tiba dari orang
yang baru turun dari bis itu.
Akibatnya: bola itu mengenai kepala Mawar.
“Aduh!” Mawar memegangi hidung peseknya
yang sepertinya terasa semakin ke dalam gara-gara bola sialan itu.
Darah… darah? “DARAH!”
Detik itu juga Mawar pingsan. Mawar pingsan
bukan karena sakitnya atau pusingnya, tapi…
“Haa Pelatih, kamu buat seorang gadis
pingsan,” ucap Kapten santai.
Pelatih hanya tertawa kaku.
“Aku yang jaga dia di bis. Kalian
bertanding saja. Aku yakin kalian pasti menang kok tanpa aku.”
“Rendi! Kita gak boleh ngeremehin lawan
kita!” ucap Pelatih sedikit kesal.
“Aku tahu, tapi kita harus tanggung jawab.
Memang ini gara-gara siapa?”
Pelatih menjadi kikuk tiba-tiba saat
dilirik Rendi yang tidak punya ekspresi itu.
“Ha ha… ya, baiklah. Nanti kami akan
memanggilmu kalau kamu diperlukan. Kami akan berjuang dengan yang ada tanpamu
dulu.”
Tidak ada yang berani protes bahkan kapten
mereka.
Rendi menggendong Mawar masuk ke dalam bis
dan menidurkannya di kursi lalu mengambil kotak P3K mini di tasnya dan
membersihkan darah di hidung Mawar.
“Kamu sadar?”
Mawar mengangguk.
“Kamu takut darah ya?”
Mawar bergidik ngeri, “Iya.”
“Sudah aku bersihkan kok. Kamu tiduran saja
dulu biar darahnya gak keluar lagi.”
“Iya, terima kasih.”
Rendi memandang kosong ke bola basket di
dekat kakinya.
“Gak. Aku yang terima kasih.”
“Ah iya. Aku tanya, gimana caranya bisa ke
terminal ya? Aku ditinggal temanku tadi. Aku dari desa, aku pikir masuknya
gratis.”
Rendi melihat Mawar, “Kamu mau nonton?”
“Bisa?”
“Kalau kamu bisa bangun ayo, masuk sama
aku.”
Baik. Dia orang baik. Suka. Aku suka dia.
Perutku rasanya ada yang bergerak-gerak mau keluar. Apa ini kupu-kupu?
“Pak, saya mau masuk ke dalam.”
“Oke Bos!” ucap supir itu sambil memberi
hormat ala militer.
“Aku tunjukin jalan ke terminal nanti.
Jangan khawatir. Tapi, memangnya kamu gak takut?”
Mawar yang berjalan di samping Rendi
menolehkan kepalanya dan harus mengangkat kepalanya agar bisa melihat wajah
Rendi.
“Aku bisa jaga diri kok.”
“Oke.”
“Kakak namanya siapa?”
“Untuk apa tahu? Belum tentu nanti kita
ketemu lagi. Pasti nanti kamu juga gak ingat.”
“Ahh Kakak betul. Perpisahan itu
menyakitkan, apalagi penghianatan. Lebih baik gak tahu satu sama lain ya?
Daripada nanti ‘lupa’.”
Mawar menunduk melihat ujung sepatunya
setiap melangkah.
“Rendi. Namaku Rendi. Kamu bilang kamu
pasti bisa masuk Karya Bangsa kan? Aku tunggu.”
Mawar berhenti berjalan saking terkejutnya.
“Mawar kan?”
Mawar mengangguk. Seandainya sihir itu
memang ada, pastinlah Mawar kena sihir saat ini.
“Ayo masuk.”
“Aku mau ke toilet dulu Kak.”
“Toiletnya ada di situ,” ucap Rendi sambil
menunjuk dengan telunjuknya.
Di dalam toilet ada Rika di situ.
“AH Mawar! Ke mana saja kamu? Aku nyariin
kamu tahu!”
Mawar tidak terlalu terkejut dengan
pertanyaan itu. Yang membuatnya terkejut adalah sikapnya yang berubah drastis.
“Siapa cowok itu? Siapa namanya? Kamu
ketemu di mana?”
Ahh aku tahu.
Mawar tersenyum pahit, “SMA Karya Bangsa.
Aku bakal sekolah di sana nanti.”
“Ah! Iya betul juga. Kita sekolah di sana
ya! Kudengar masuk ke sana pakai ujian masuk segala, terus ujiannya susah. Tapi
kita kan sahabat, jadi kita pasti bisa masuk ke sana sama-sama!” ujar Rika
antusias.
Tapi, Mawar sudah betul-betul kesal.
Apa orang-orang begitu cepat melupakan? Apa
sebuah hubungan harus seperti itu? Hanya terjadi saat ada keinginan tersembunyi
saja?
“Iya. Kita bisa masuk bersama. Tentu saja.
Aku akan belajar lebih giat, tapi sepertinya hanya aku yang bakal diterima.”
“Kita kan bisa kerja sama ngerjaiannya?”
tanya Rika dengan muka dibuat-buat.
“Kerja sama? Maksudmu aku yang ngerjain
semuanya dan kamu Cuma copas?”
“Kamu kenapa War?”
Mawar tersenyum riang, “Gak apa. Aku gak
punya sahabat kok. Aku sendiri saja. Bahkan kalau kamu sebar gosip aneh-aneh
saat di sekolah, aku gak peduli.”
Setelah berbicara begitu, Mawar masuk ke
bilik toilet dan keluar beberapa menit kemudian setelah dirasa Rika tidak ada
di luar.
“Kamu sakit perut? Kenapa lama banget sih?”
Mawar tertawa ringan, “Gak kok. Ah, tapi
aku harus cepat pulang. Pulang ke rumah perjalanan pakai bus perlu setengah
hari. Aku harus kembali ke rumah, soalnya besok ada acara keluarga. Bisa Kakak
kasih tahu jalurnya?”
“Aku antar,” ucap Rendi sambil menarik
tangan Mawar.
“Gak usah. Kakak masih ada pertandingan.
Aku bisa sendiri kok. Cukup kasih tahu jalurnya.”
Rendi menyerah. Dia melepaskan tangan Mawar
dengan enggan. Dia memberi tahu detail menuju terminal sampai detail harga
tarif angkot.
“Oke. Terima kasih Kak.”
Mawar pergi. Sekuat tenaga air matanya dia
tahan dan akhirnya tumpah saat dia di bis. Dia menangis gak peduli apa yang
orang pikirkan. Dia menangis sampai tertidur.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
write your comment here...