24 Februari 2014

You are The Person I Like The Most (side story 2)

udah baca yang ini, ini, sama ini belum?

Judul : You are the Person I Like the Most, Side Story 2 : Pandangan yang Pertama
Length : oneshoot
Genre : masih sama sama yang sebelumnya
Penulis : masih yang punya blog ini



You are the Person I Like the Most
Side Story: Pandangan yang Pertama


“Jangan sampai terjadi sesuatu sama beras-berasnya ya?”
Mawar kelas tiga SMP menjawab riang.
Hari Sabtu ini, sepulang sekolah, Mawar mengantar beras ke kota. Hari ini, Rika ikut bersamanya karena mau nonton pertandingan basket SMP dan SMP se-provinsi walau sekolah mereka sudah kalah di babak penyisihan kedua.
“Paman harus kembali. Kalian gak apa-apa nih ditinggal?”
“Gak apa kok Paman, Rika punya saudara di sini,” jawab Rika yakin.
“Ya sudah. Paman balik ya Mawar. Kamu bisa hubungin rumah kalau ada apa-apa.”
“Oke!”
Kalau ada apa-apa… pasti aku sempat mati duluan kalau hubungin rumah yang jaraknya setengah hari dari sini.
“Nah, Rika. Kita ke mana sekarang?”
“Jelas ke Gor tempat pertandingannya lah…”
“Oh, iya.”
Sebenarnya maksudku bukan itu, “Biarpun aku sudah bolak-balik ke kota, tapi aku selalu di dalam truk dan gak pernah naik angkot sendiri. Intinya, aku gak tahu jalan.”
“He? Gak tahu? Ah, ngebosenin. Aku kira kamu tahu.”
“Apa?”
Mawar bisa mendengar dengan jelas setiap kata yang diucapkan Mawar, tapi dia pura-pura tidak mendengarnya. Tidak semua hal yang tidak harus diketahui itu buruk.
“Gak ada. Ayo ke sana.”
Ramai. Banyak orang. Mawar suka!
“Rika!”
Mawar mendengar nama sahabatnya itu dipanggil dan dia bisa melihat seorang cowok melambai ke arah mereka. Dengan cepat Rika menuju ke arah orang itu. Mawar ditinggal tapi dia memilih untuk mengikuti Rika.
“Siapa dia?” tanya cowok yang dipeluk Rika mesra.
“Teman,” jawab Rika tidak berselera, “Ayo kita masuk? Kamu sudah beli tiketnya kan?”
Cowok itu mengangguk.
“Eh? Masuknya pakai tiket?”
“Iya. Eh, pertandingannya sudah mau mulai aku masuk duluan ya!”
Begitu saja. Rika masuk dan meninggalkannya.

Mawar tidak punya uang banyak. Hanya uang untuk pulang. Ini juga dia tabung selama dua minggu karena Rika sudah bilang sebelumnya.
Mengecewakan.
Mawar melihat beberapa orang turun dari bis. SMA Karya Bangsa tertulis di badan bis.
Waahhh keren! Cakep-cakep.
Sekelompok cowok sembilan-sepuluh orang itu melakukan pemanasan. Seragam mereka yang keren membuat pemandangan silau di mata Mawar. Mereka memantul-mantulkan bola lalu saling mengoper.
Keren! Keren!
Mawar memekik dalam hati saat ada seorang cowok yang tingginya sekitar seratus delapan puluh sentimeter datang sambil memutar bola di ujung jari telunjuknya.
Tanpa sadar, Mawar mendekat ke arah mereka.
“Wah! Kakak-kakak keren! Namaku Mawar. Ajarin aku main dong!”
Salah seorang yang sepertinya kapten mendekat, “Kamu masih SMP?”
Mawar mengangguk semangat, “Iya!”
“Kalau begitu kamu harus masuk Karya Bangsa dulu baru bisa masuk klub basket.”
“Oke. Aku bakal sekolah di sana.”
“Rendi, tangkap!”
Orang yang paling keren itu menoleh terkejut tapi sayang, dia tidak bisa menangkap operan bola tiba-tiba dari orang yang baru turun dari bis itu.
Akibatnya: bola itu mengenai kepala Mawar.
“Aduh!” Mawar memegangi hidung peseknya yang sepertinya terasa semakin ke dalam gara-gara bola sialan itu.
Darah… darah? “DARAH!”
Detik itu juga Mawar pingsan. Mawar pingsan bukan karena sakitnya atau pusingnya, tapi…
“Haa Pelatih, kamu buat seorang gadis pingsan,” ucap Kapten santai.
Pelatih hanya tertawa kaku.
“Aku yang jaga dia di bis. Kalian bertanding saja. Aku yakin kalian pasti menang kok tanpa aku.”
“Rendi! Kita gak boleh ngeremehin lawan kita!” ucap Pelatih sedikit kesal.
“Aku tahu, tapi kita harus tanggung jawab. Memang ini gara-gara siapa?”
Pelatih menjadi kikuk tiba-tiba saat dilirik Rendi yang tidak punya ekspresi itu.
“Ha ha… ya, baiklah. Nanti kami akan memanggilmu kalau kamu diperlukan. Kami akan berjuang dengan yang ada tanpamu dulu.”
Tidak ada yang berani protes bahkan kapten mereka.
Rendi menggendong Mawar masuk ke dalam bis dan menidurkannya di kursi lalu mengambil kotak P3K mini di tasnya dan membersihkan darah di hidung Mawar.
“Kamu sadar?”
Mawar mengangguk.
“Kamu takut darah ya?”
Mawar bergidik ngeri, “Iya.”
“Sudah aku bersihkan kok. Kamu tiduran saja dulu biar darahnya gak keluar lagi.”
“Iya, terima kasih.”
Rendi memandang kosong ke bola basket di dekat kakinya.
“Gak. Aku yang terima kasih.”
“Ah iya. Aku tanya, gimana caranya bisa ke terminal ya? Aku ditinggal temanku tadi. Aku dari desa, aku pikir masuknya gratis.”
Rendi melihat Mawar, “Kamu mau nonton?”
“Bisa?”
“Kalau kamu bisa bangun ayo, masuk sama aku.”
Baik. Dia orang baik. Suka. Aku suka dia. Perutku rasanya ada yang bergerak-gerak mau keluar. Apa ini kupu-kupu?
“Pak, saya mau masuk ke dalam.”
“Oke Bos!” ucap supir itu sambil memberi hormat ala militer.
“Aku tunjukin jalan ke terminal nanti. Jangan khawatir. Tapi, memangnya kamu gak takut?”
Mawar yang berjalan di samping Rendi menolehkan kepalanya dan harus mengangkat kepalanya agar bisa melihat wajah Rendi.
“Aku bisa jaga diri kok.”
“Oke.”
“Kakak namanya siapa?”
“Untuk apa tahu? Belum tentu nanti kita ketemu lagi. Pasti nanti kamu juga gak ingat.”
“Ahh Kakak betul. Perpisahan itu menyakitkan, apalagi penghianatan. Lebih baik gak tahu satu sama lain ya? Daripada nanti ‘lupa’.”
Mawar menunduk melihat ujung sepatunya setiap melangkah.
“Rendi. Namaku Rendi. Kamu bilang kamu pasti bisa masuk Karya Bangsa kan? Aku tunggu.”
Mawar berhenti berjalan saking terkejutnya.
“Mawar kan?”
Mawar mengangguk. Seandainya sihir itu memang ada, pastinlah Mawar kena sihir saat ini.
“Ayo masuk.”
“Aku mau ke toilet dulu Kak.”
“Toiletnya ada di situ,” ucap Rendi sambil menunjuk dengan telunjuknya.
Di dalam toilet ada Rika di situ.
“AH Mawar! Ke mana saja kamu? Aku nyariin kamu tahu!”
Mawar tidak terlalu terkejut dengan pertanyaan itu. Yang membuatnya terkejut adalah sikapnya yang berubah drastis.
“Siapa cowok itu? Siapa namanya? Kamu ketemu di mana?”
Ahh aku tahu.
Mawar tersenyum pahit, “SMA Karya Bangsa. Aku bakal sekolah di sana nanti.”
“Ah! Iya betul juga. Kita sekolah di sana ya! Kudengar masuk ke sana pakai ujian masuk segala, terus ujiannya susah. Tapi kita kan sahabat, jadi kita pasti bisa masuk ke sana sama-sama!” ujar Rika antusias.
Tapi, Mawar sudah betul-betul kesal.
Apa orang-orang begitu cepat melupakan? Apa sebuah hubungan harus seperti itu? Hanya terjadi saat ada keinginan tersembunyi saja?
“Iya. Kita bisa masuk bersama. Tentu saja. Aku akan belajar lebih giat, tapi sepertinya hanya aku yang bakal diterima.”
“Kita kan bisa kerja sama ngerjaiannya?” tanya Rika dengan muka dibuat-buat.
“Kerja sama? Maksudmu aku yang ngerjain semuanya dan kamu Cuma copas?”
“Kamu kenapa War?”
Mawar tersenyum riang, “Gak apa. Aku gak punya sahabat kok. Aku sendiri saja. Bahkan kalau kamu sebar gosip aneh-aneh saat di sekolah, aku gak peduli.”
Setelah berbicara begitu, Mawar masuk ke bilik toilet dan keluar beberapa menit kemudian setelah dirasa Rika tidak ada di luar.
“Kamu sakit perut? Kenapa lama banget sih?”
Mawar tertawa ringan, “Gak kok. Ah, tapi aku harus cepat pulang. Pulang ke rumah perjalanan pakai bus perlu setengah hari. Aku harus kembali ke rumah, soalnya besok ada acara keluarga. Bisa Kakak kasih tahu jalurnya?”
“Aku antar,” ucap Rendi sambil menarik tangan Mawar.
“Gak usah. Kakak masih ada pertandingan. Aku bisa sendiri kok. Cukup kasih tahu jalurnya.”
Rendi menyerah. Dia melepaskan tangan Mawar dengan enggan. Dia memberi tahu detail menuju terminal sampai detail harga tarif angkot.
“Oke. Terima kasih Kak.”
Mawar pergi. Sekuat tenaga air matanya dia tahan dan akhirnya tumpah saat dia di bis. Dia menangis gak peduli apa yang orang pikirkan. Dia menangis sampai tertidur.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

write your comment here...

Blogger news