24 Februari 2014

Kita adalah Teman (Selamanya)



Kita adalah Teman (selamanya)
-Kuharap itu tidak nyata-

Indara/Finda Rahmadaniati/Pemilik blog greenfira.blogspot.com


Kyo selalu dengan tampang datarnya, setiap pagi menjemputku ke sekolah. “Selamat pagi,” selalu dia ucapkan dengan tulus.
“Ah, kamu hari ini kesiangan lagi.”
Lagi-lagi dia sudah di depan pintu rumahku saat aku membuka pintu.
“Apanya yang ‘hehe’?” ucapnya sambil berjalan meninggalkanku.
“Kyo, tunggu!”
“Makanya buruan. Kita bisa telat di hari pertama sekolah. Kalau sampai itu terjadi, ini semua gara-gara kamu…”
“Iya, iya…”
“Kalau kamu bisa secepat itu makai sepatunya, harusnya dari tadi kamu lakukan. Lagian, ngapain sih kamu meluk aku sambil jalan gini. Kamu kan sudah gede, bisa jalan sendiri…”
“Ah, kakiku sakit.”
“Itu salahmu sendiri, turun tangga gak hati-hati.”
Aku melepas pelukannya, walau aku senang mendengar bisik-bisik orang yang lalu lalang.
“Emangnya ini salah siapa yang ngagetin aku hah?”
Dia menoleh dan menatapku, “Salahmu sendiri nguping pembicaraan orang.”
Ah, dia tahu. Aku jadi salah tingkah, “Ah, itu… anu, aku disuruh Tante buat ngawasin kamu!”
“Iya, iya. Terserah deh…”
Sudah, gitu aja. Padahal aku mau ngobrol lebih banyak lagi sama Kyo. Di sekolah, kami beda kelas. Kalau sudah di rumah, dia bakal sibuk belajar.
“Kyo!”
Kyo melambaikan tangannya pada gadis seumuran kami yang menunggu di gerbang sekolah.

“Ah, hari ini kalian berangkat bareng lagi ya?” ucap gadis itu menggemaskan.
Dia memang menggemaskan.
“Iya, rumah kami kan bersebelahan.”
“Ah, aku iri…”
Yang iri, harusnya aku. Kamu pacarnya, pacarnya. Kyo gak pernah punya waktu main sama aku lagi sejak kelas empat SD. Itu, aku betul-betul kangen masa itu. Masa saat Kyo hanya bermain denganku. Hanya denganku.
“Ah, Rika. Maaf, hari ini kita gak bisa jalan. Aku harus ke perpustakaan, ada buku yang lagi aku cari. Ryo juga nitip buku yang harus dikembalikan dan buku yang mau dia baca, lagi.”
Rika tersenyum lembut, selalu, dia memang gadis lembut. “Gak apa. Kalau kamu mau, aku bisa bantu carikan buku yang adikmu pesan.”
“He? Gak apa?”
Rika mengangguk, “Gak apa.”
Aku bukan siapa-siapa buat Kyo. Rika masuk ke dalam hidup kami saat kami kelas empat SD, dia murid pindahan. Aku senang punya teman baru, tapi…
“Lia, gak ikut?”
Aku bukan siapa-siapa, “Ah, hehe… gak. Aku ada les sehabis pulang sekolah.”
“Oh, gitu ya? Ya sudah, lain kali ya?”
Aku mengangguk walau aku sendiri gak tahu apa aku mau melakukannya atau gak.
“Lia, PRmu?”
Satu-satunya yang bisa kubanggakan adalah saat Kyo memperhatikanku seperti ini.
Aku terdiam sebentar. Itu tugas ekskul sebelum liburan semester ganjil. Astaga… ASTAGA!!?!
“Gawat! Aku lupa… kayaknya ketinggalan di kamar deh…”
Kyo membuka tasnya, “Iya, memang. Kamu ninggalin ini di kamarku. Dasar kamu ceroboh banget.”
Kyo memberikan bukuku setelah memukul kepalaku dengan buku itu, “Gimana kamu bisa hidup kalau aku gak ada di sampingmu!”
Aku terdiam satu detik. Hanya satu detik, kuharap Kyo dan Rika gak sadar.
“Haha! Memangnya kamu siapa?”
“Pahlawanmu…”
“ Aku ini hebat tahu!” ucapku tanpa menghiraukan jawabannya.
Rika tertawa. Dia selalu saja manis, “Kalian sama sekali gak berubah sejak aku kenal kalian.”
Aku selalu beruntung di saat seperti ini. Bel berbunyi menyelamatkan keadaan.
“Ah, sudah bel. Aku ke kelas dulu ya! Kalian juga buruan ke kelas, nanti bisa telat.”
“Memangnya ini gara-gara siapa?”
Aku menjulurkan lidah dan berlari meninggalkan mereka menuju kelas Bahasa Jerman.
“Lia, jangan lari-lari. Kakimu masih sakit kan?”
Aku bisa mendengar peringatan Kyo tapi aku pura-pura gak dengar. Kalau aku berbalik, aku pasti menitihkan air mata. Bukan karena sakit kakiku gara-gara jatuh di tangga, tapi rasanya sesak.
Aku selalu berpikir, ke mana perginya keberuntunganku?

*

Aku sudah menyukai Kyo sejak aku kecil. Suka, sangat suka.
“Halo! Aku Lia, baru aja pindah hari ini. Kita berteman ya?” ucapku senang saat orang tuaku mengajakku berkunjung ke rumah tetangga untuk memperkenalkan diri.
Aku pikir waktu itu umurku sekitar empat atau lima tahun. Gak banyak yang aku ingat saat perkenalan dengan tetangga kami. Cuma dia, Kyo, yang masih aku ingat sampai sekarang.
Aku mendengar bel rumah berbunyi dan membuka pintu untuk menerima tamu.
“Halo,” ucapnya.
“Kyo? Ada apa?”
Aku biasanya gak bisa ingat orang dengan sekali menemuinya. Tapi, aku bisa melakukannya karena dia Kyo.
“Mengantar kue. Mama baru aja buat kue.”
Aku senang. Bukan cuma karena dapat kue yang aku suka, tapi karena Kyo yang memberikannya.
“Makasih! Pasti enak deh!”
“Gak enak. Manis banget.”
“Hee mana boleh ngomong begitu! Mamamu pasti sedih kalau dengar begitu, lagian jangan ngomong ‘gak enak’ di depan makanan, nanti makanannya bisa nangis.”
“Kamu baru aja ngomong begitu…”
“Aku cuma nyontohin tahu!”
“Kamu sendirian?”
Aku mengangguk, “Mama sama Papa ke rumah sakit. Nenek sakit.”
“Kenapa kamu buka pintu kalau gitu? Siapa tahu aja aku orang jahat yang mau menculik kamu.”
Aku yakin, raut mukaku yang ketakutan terlihat lucu buat dia karena dia tertawa tiba-tiba. Tapi aku senang. Aku bisa melihatnya tertawa. Cuma aku yang tahu Kyo bisa tertawa terbahak-bahak sampai seperti itu. Gak ada yang bisa membayangkan Kyo bakal tertawa begitu dengan mukanya yang datar. Ini rahasiaku. Aku senang.
“Kapan Mama sama Papamu pulang?”
“Nanti malam.”
“Ya sudah, aku temanin kamu. Aku bilang Mama dulu.”
Aku terdiam. Aku yakin, kalau dia berbalik meminta persetujuanku dia pasti melihat pipiku yang memerah.
Kyo selalu ada untukku. Walau aku sadar aku hanya menikmati waktu indahku berdua dengan Kyo sekejap, cuma sekejap mata.
Papa memutuskan gak akan pindah-pindah kerja lagi. Papa sangat menyayangiku. Dia senang aku berteman baik sama Kyo. Jadi, Papa gak akan misahin aku dari Kyo. Aku terima resikonya walau Papa harus sering keluar kota selama beberapa hari bahkan bisa sampai sebulan atau beberapa bulan—dan pulang sesekali untuk menjengukku dan Mama—aku gak masalah. Dan saat aku mulai beranjak besar, sedikit lebih besar dan bisa menjaga rumah sendiri, Mama pergi menemani Papa kerja di luar kota. Lalu, saat-saat seperti itu, Kyo datang ke rumahku dan menginap di rumah untuk menemaniku.
Kyo pintar masak. Waktu itu kelas tiga SD, tapi dia sudah bisa menggoreng telur dan memasak mie instan. Aku, bahkan sampai sekarang masih sering makan telur gosong.
“Ah, aku yakin gak ada yang mau nikah sama kamu kalau kamu gak belajar masak,” itu ucapnya saat kelas dua SMP.
Waktu itu, aku, Kyo, dan Rika sedang makan bekal kami.
“Sudah aku bilang, Mama lagi nemenin Papa keluar kota.”
“Ya, ya… goreng telur aja sampai gosong begitu.”
Rika tertawa, “Besok mau aku buatkan Lia?”
“Gak usah deh Rika, dia juga menolak waktu Mamaku mau buatkan buat dia.”
“Grrr…”
“Nih,” aku bisa lihat kotak makan Kyo tiba-tiba muncul di depan mataku, “Kita bisa berbagi.”
Aku masih kesal, “Gak perlu!”
Aku makan bekalku dengan beringas.
“Nanti kamu bisa sakit perut lho kalau makan telur gosong itu,” Ucap Rika khawatir.
Aku tersenyum pada Rika, “Gak bakal!”
“Mama sama Papamu masih seminggu di Papua, jadi jangan buat dia khawatir,” Kyo langsung menaruh sosis goreng-guritanya ke kotak makanku sebagian, “kalau sudah gitu kamu pasti ngerepotin aku.”
Ah, aku gak jadi terharu! Tapi, walau begitu aku tetap saja memakan sosis yang dia kasih. Di sudut mataku aku bisa melihat dia tersenyum.

*

Semua baik-baik saja walau bukan hanya aku dan Kyo yang menikmati dunia indah kami. Setidaknya itu pikiranku sampai kenaikan kelas tiga SMP.
“AH! Kita semua sekelas!” ucapku riang. Berpura-pura riang.
“Wah, menyenangkan ya?” ucap Rika sambil tersenyum pada Kyo. Itu pertama kalinya aku sadar kalau Rika selalu tersenyum untuk Kyo. Cara tersenyum yang berbeda. Selalu Kyo yang pertama.
“Ya.” Kyo menjawabnya dengan membalas senyum Rika.
“Tapi, ahhh! Lagi-lagi absenku habis kamu, Kyo!” ucapku sebal. Pura-pura sebal. Pura-pura, selalu ini yang aku lakukan.
“Salahkan Mamamu memberi nama dengan huruf awal L.”
Aku ngomel sendiri menanggapinya dan lagi, Rika tersenyum untuk Kyo dan Kyo membalasnya.
Sebelumnya, dari TK, SD, sampai SMP kelas dua kemarin aku selalu sekelas dengan Kyo. Daftar absenku selalu setelahnya. Gak apa, aku senang karena kalau pelajaran olahraga dia selalu duluan, kami berpapasan dan dia memberiku semangat setiap pengambilan nilai. Tempat duduk kami berdekatan kalau ulangan. Aku senang.
“Kalian memang jago olahraga ya?” ucap Rika setelah pelajaran olahraga pertama kami.
“Yah, itu…” aku bingung gimana menjelaskannya, jadi yang aku lakukan hanya menggaruk belakang kepalaku yang gak gatal sama sekali.
“Itu karena kami selalu main permainan laki-laki, maksudku sepak bola. Dia kan memang laki-laki!”
Kesal. Dia selalu begitu. Padahal, alasanku cuma satu. Dia selalu memberiku semangat.
Di kelas tiga ini kami sering belajar bersama sepulang sekolah. Tempatnya adalah rumahku, rumah Kyo, dan rumah Rika. Kami menggilirnya biar gak bosan.
“Wah, sudah semester dua, ya?” ucap Rika senang. Entahlah apa yang membuatnya senang seperti itu.
“Hmm iya ya, gak lama kita bakal UAN ya…”
“Kalau gitu kamu harus belajar giat,” ucap Kyo sambil menepuk kepalaku.
“Aku kan lagi ngelakuin. Lagian, yang santai-santai itu kan kamu!” ucapku gemas pada Kyo yang berbaring di tempat tidurku sambil menikmati koleksi mangaku.
“Hee aku kan jenius.”
“Terserah lah!” ucapku berusaha fokus pada buku bahasa Jepang di depan mataku.
“Kamu gak mau buatkan kami minuman? Kami tamu lho, tamu,” tanya Kyo mengalihkan pandangannya dari manga yang dia baca.
“Yang biasanya bilang anggap rumah sendiri itu kan kamu!”
Dia selalu membuatku marah. Tapi, entah bagaimana aku gak betul-betul marah. Aku senang.
“Oi Lia.”
“Apa lagi sih!? Sirupnya ada di kulkas. Gelasnya di tempat biasa, kamu bisa buat sendiri kok.”
“Siapa yang minta dibuatkan minum sih?”
“Terus apa?” ucapku sambil menatapnya.
“Paling gak kan kamu buatkan untuk Rika.”
Aku bisa lihat pipi Rika memerah dari sudut mataku.
“Kalau gitu kamu yang buatkan sana.”
Rika tertawa, “Gak apa, aku bisa buat sendiri,” ucap Rika mau berdiri.
“Biar aku aja,” ucap Kyo menutup manga yang dia baca sambil menahan Rika di bahunya, “Dasar kamu ini. Kalau kamu begini terus gak bakal ada yang mau jadi suamimu.”
Aku menjulurkan lidah dan kembali tenggelam dengan buku bahasa Jepangku.
Aku tahu, aku tahu. Aku cuma mau kamu yang tahu. Itu aja alasanku.
Kyo kembali dengan ceret berisi sirup mangga dan dua gelas.
“Cuma dua gelasnya?”
“Ini kan rumahmu, kamu bisa ambil sendiri,” ucapnya sambil meletakkan minuman di meja dan tersenyum pada Rika, “Nih minum.”
Rika menerima gelas dari Kyo dengan senang, “Makasih.”
“Tuan rumahnya sekarang aku.”
“Ini rumahku!”
Kali ini aku betul-betul kesal. Pertama kalinya. Bukan karena kelakuan Kyo, itu sudah biasa, malahan aku senang. Aku kesal karena dia menuangkan minuman untuk Rika dan tersenyum untuk Rika. Aku kesal, cemburu.
“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan. Sebentar lagi kita jadi murid SMA,” ucapnya sambil membuka manga yang tadi dia beri tanda.
Aku hanya diam dan berusaha tenggelam bersama tulisan-tulisan bahasa Jepang di depan mataku.
“Ah, Lia, kamu mau masuk SMA mana nanti?”
Aku sebenarnya mau masuk SMA Dua, di sana aku bisa belajar banyak bahasa. Tapi, aku ragu dengan sekolah yang kamu pilih. Kamu tahu, aku takut berpisah dari kamu.
“Oh iya, betul juga. Aku masih bingung masuk SMA mana,” ucap Rika sambil berpikir, “Kyo sendiri?”
Kyo mengangkat bahu, aku bisa lihat dari sudut mataku. Ah, aku betul-betul gak fokus dengan tulisan bahasa Jepang di depan mataku. Aku gak bisa tenggelam, aku memperhatikan mereka berdua selama belajar bersama.
“Aku juga masih belum tahu.”
Ketakutanku benar. Rika tiba-tiba datang padaku dan curhat tentang perasaannya pada Kyo. Takut, aku takut.
“Aku selalu berpikir kalian pacaran, karena itu aku…”
Aku memegang tangan Rika dan tersenyum—palsu—padanya, “Gak apa, sebaiknya kamu ngomong langsung sama Kyo.”
Rika tersenyum dan mengangguk.
Gak, gak, jangan ngomong sama dia. Aku gak mau.
Rika langsung mengatakannya setelah pulang sekolah saat aku mau menjemput Kyo di ruang ekskul basket.
“…suka Kyo sejak pertama.”
Kyo gak menjawab apapun. Dia hanya diam memandang Rika dengan muka datarnya.
“Ah, Kyo gak perlu jawab sekarang kok. Aku senang bisa sama-sama Kyo.”
Kyo menepuk kepala Rika dan tersenyum. Itu pertama kali aku melihat Kyo menepuk kepala orang lain. Sesak.
Di perjalanan pulang kami hanya diam.
“Kamu sakit?” tanyanya tiba-tiba sambil mencoba memegang dahiku.
“Gak,” ucapku sambil menepis tangan Kyo.
“Oh, baguslah artinya kamu sehat.”
Hening lagi. Kenapa perjalanan pulang ke rumah rasanya jauh ya?
“Ngomong-ngomong soal SMA…”
Aku tersenyum semangat—palsu—dan menatapnya, “SMA Dua, aku akan masuk sana. Di sana ada kelas bahasa.”
Aku harus buat keputusan. Betul. Aku gak bisa selamanya di samping Kyo. Ada masanya dia akan bersama orang lain, untuk itu aku harus belajar dari sekarang.
“Oh gitu,” Kyo kembali berjalan, “Betul juga, kamu suka belajar bahasa negara lain.”
Aku selama ini hanya seperti ini, melihat punggungnya, gak bakal bisa jalan di sampingnya. Seandainya bisa jalan di depannya, aku gak mau. Aku memilih berjalan di belakang menikmati punggungnya kalau aku gak bisa jalan beriringan dengannya.
Entah sudah berapa minggu sejak Rika mengungkapkan perasaannya, yang jelas UAN sudah di depan mata.
“Maaf ya, mulai hari ini aku les.”
“Lia, kenapa baru ngomong sekarang?”
“Iya, kamu gak pernah bilang sama aku.”
Aku gak mau kamu tahu, “Ahahaha, aku lupa. Rasanya belakangan ini aku jadi sibuk.”
“Dasar nenek-nenek.”
Aku gak menanggapinya.
“Nah, aku pergi duluan ya?” ucapku sambil melambaikan tangan.
Betul-betul melelahkan. Capek. Lari dari masalah itu capek. Bahkan ujian bulan depan bukan apa-apa, aku sama sekali gak takut.
“Ah, kamu baru pulang?”
“Kenapa kamu ada di rumahku?”
“Mama sama Papamu kan lagi di Aceh? Jadi aku lagi nemenin kamu. Mama yang nyuruh.”
Oh, jadi selama ini Mamanya yang nyuruh. Mengecewakan. Aku terlalu berharap.
“Jangan masuk rumah orang seenaknya. Lagian aku sudah besar!”
“He? Besar? Di mataku kamu gak besar sama sekali,” ucap Kyo sambil mengikutiku menuju dapur.
Aku mengabaikannya. Lelah. Capek.
“Aku sudah buatkan makan. Sana mandi, habis itu kita makan bareng.”
Aku membuka kulkas dan mengambil botol minum dan meneguknya, mengembalikannya dan menuju kamar.
“Jangan ketiduran ya? Mandi dulu baru makan, habis itu baru tidur.”
“Memangnya kamu ini mamaku?”
Aku harus cepat tidur.
“Kamu selalu jago masak.”
“Kamu pasti kecapekan. Kenapa gak belajar bareng aja sih daripada les pulang malam?”
“Aku baru aja muji masakanmu, harusnya kamu bilang makasih.”
“Aku juga baru aja ngomong sesuatu tapi kamu abaikan. Kamu kenapa sih belakangan ini?”
Aku terdiam dan gerakan tanganku berhenti.
“Aku Cuma lagi berusaha masuk ke sekolah impianku. Mengejar cita-citaku.”
Aku kembali menyuap makanan di hadapanku.
“Aku juga ke SMA Dua.”
Aku menatapnya gak percaya, “Kenapa?”
“Kamu itu harus dijagain,” ucapnya setelah meneguk air, “Rika juga bakal ke SMA Dua.”
Aku kembali menyantap makananku. Ternyata itu alasannya.
“Baguslah, kita bakal bareng lagi.”
Hening beberapa saat, aku menikmatinya. Otakku sudah lelah, kuharap dia mengerti dengan gak memulai obrolan lagi.
“Rika nembak aku dua bulan lalu dan aku belum ngasih jawaban, tadi dia memastikan jawabanku dan aku meminta waktu lagi.”
Aku harus pura-pura kaget, “Apa?! Dua bulan?! Kamu gila ya nggantungin perasaan perempuan selama itu?”
Dia diam, “Aku bingung.”
“Sudah pasti kamu harus terima dia kan? Rika cantik, baik, populer…”
“Ah, betul aku akan terima dia besok.”
Aku harus bagaimana? Kepura-puraanku menyiksaku.
“Baguslah,” aku menghentikan makanku. Selera makanku yang gak seberapa menguap entah ke mana.
“Biar aku yang nyuci piring. Kamu pulang aja.”
Itu terakhir aku berbicara dengannya di masa kelas tiga SMP. Meski nomor urut ujian kami berurutan aku gak pernah ngobrol sama dia. Meski kami pergi dan pulang sekolah bersama, kami gak pernah mencoba memulai pembicaraan.
Aku tahu Kyo bakal lulus dengan nilai yang sangat bagus, meski nilaiku gak jelek. Dia harusnya bisa masuk SMA Favorit kalau dia mau, tapi seperti yang dia bilang aku bertemu dengannya bersama Rika di pendaftaran masuk SMA Dua.
Kakek memintaku mengunjunginya selama liburan. Apakan ini memudahkanku atau malah mempersulitku, entahlah yang jelas aku gak terima kabar dari Kyo selama liburan.
“Kamu ini!”
Aku kaget. Sangat sangat sangat kaget saat kulihat dia menunggu di pagar rumahku.
“Ngapain kamu di sini? Tenang aja, aku bakal ngantar oleh-olehnya nanti.”
Dia mengambil alih bawaanku dan langsung menaruhnya di dalam rumah. Dia menarikku naik motor barunya.
“Kita mau ke mana?”
Dia gak jawab. Gak lama aku tahu tujuan kami.
“Kamu ini sudah SMA, harusnya kamu punya hape. Kamu tahu gimana bingungnya aku hubungin kamu selama liburan?!”
Dia marah? Kalau iya—seandainya gak juga yang jelas—lagi-lagi aku tahu satu rahasia ekspresi mukanya.
“Sekarang pilih hape yang kamu mau sekalian sama nomornya, yang sama sama nomorku aja biar gampang hubunginnya.”
“Ah, kakak yang baik ya? Nah, Dik ayo pilih…”
Ayo pilih? Memangnya dia lagi ngobral baju ya? Lagian, siapa adikknya?!
Aku menunjuk sembarang hape yang terlihat bagus di mataku, “Nomornya sembarang aja.”
“Kalau gitu Mbak, yang ini sama yang ini.”
“Nomor kembar? Ternyata bukan kakak-adik ya?” ucap penjaga toko itu sambil mengambil nomor yang ditunjuk Kyo.
Kyo mengeluarkan hapenya dan membuka penutup belakang hapenya.
Hape kami sama…
“Oi, emang gak apa-apa kamu ganti nomor begitu?”
“Nanti aku hubungin mereka satu-satu, lagian belum banyak kok yang punya nomorku.”
Ah, kenapa jantungku. Padahal aku sudah janji untuk menyerah.
“Gak usah diganti. Aku beliin ini buat kamu. Selama ini aku belum kasih kamu kado ulang tahun tapi kamu gak pernah lupa sama ulang tahunku.”
Aku diam. Jantungku makin gak karuan.
“Mau mampir ke sekolah dan liat pembagian kelas?”
“Hmm boleh. Kamu belum lihat?”
“Gak, belum.”
Seperti yang kuduga. Aku kembali sekelas dengannya.
Seperti yang aku bilang, aku masuk sekolah ini karena ada kelas bahasa. Maka, saat mengisi formulir kenaikan kelas aku menuliskan kelas bahasa. Bahasa asing dasarku terbilang lumayan, masuk ke kelas bahasa bukan masalah.
“Kamu memang otak profesor. Pantas memang kamu di kelas IPA.”
“Iya.”
Entah sejak kapan aku bisa ngobrol santai lagi dengannya walau sejak pulang membeli hape dia memberitahuku kalau dia sudah menerima Rika.
“Sudah kuduga, kamu memang otak profesor. Kelas satu anggota biasa dan kelas dua jadi ketua OSIS.”
“Makanya, kamu harus bantu perkembangan sekolah dengan ikut ekskul.”
“Enggak ah, aku mau lebih banyak santai.”
“Kenapa kamu gak ikut ekskul bahasa Inggris?”
Aku terdiam sebentar, “Ah, mungkin juga bagus. Aku pikirkan.”
Aku gak pernah tahu Kyo suka sama bahasa Inggris walau nilai bahasa Inggrisnya gak jelek. Waktu aku daftar masuk ekskul bahasa Inggris dia yang menerima formulir. Dia sekretaris.
“Memang betul, kamu ini otak profesor. Ketua OSIS dan sekretaris ekskul bahasa Inggris, anak IPA,” ucapku sepulang sekolah.
“Aku kan jenius.”
“Ya, memang. Tapi, kamu perlu istirahat. Kalau nanti kamu sakit aku gak peduli.”
Aku gak peduli…
“Katanya kamu gak peduli?”
“Ck. Aku disuruh Miss Becca buat ngasih modul hari ini.”
Dia menerima kertas yang aku berikan, “Hmm makasih.”
“Sudah aku bilang, kan?”
“Mau gimana lagi? Aku gak mungkin lepas jabatan ketua OSIS.”
“Kalau gitu lepas jabatan sekretaris ekskul bahasa Inggrismu, aku yang gantiin, nanti aku yang bilang ke guru pembimbing kita.”
“AH, ternyata betul kamu masih demam. Besok gak usah turun sekolah aja dulu,” ucapku sambil membantunya berbaring dan meletakkan kompres, “Duh, ada-ada aja sampai pingsan di sekolah padahal tadi padi kamu kelihatan baik-baik aja.”
Dia diam. Aku harus ngomong apa lagi kalau dia diam begini.
“Kalau kamu begini, kepalamu betul-betul bakal botak dini seperti profesor.”
“Ah, berisik.”
“Hmm, lebih baik kamu tidur. Aku juga mau pulang. Kamu sms Rika aja kalau mau pinjam catatannya, ntar aku yang ambil dari dia.”
“Dah!” ucapku lalu menutup pintu kamarnya dan menuruni tangga.
Di kelas dua SMA ini kami semua beda kelas. Tentu saja aku yang anak bahasa gak mungkin sekelas sama Kyo dan Rika yang anak IPA. Tapi, di kelas tiga SMA mereka sekelas. Ya, masa kelas dua SMA ini rasanya berlalu dengan cepat juga terasa lama.
“Aha! Kita kelas tiga lagi!”
“Wah! Kalian sekelas!”
“Pasti nyenengin banget ya?”
“Anak-anak sekolah pada iri loh sama pasangan dari SMP ini!”
Aku gak berhenti ngomong setelah melihat pengumuman pembagian kelas. Aku berharap aku punya keberuntungan kali ini. Aku sangat berharap bel masukan berbunyi.
“Ah, aku ke kantin dulu ya!”
Bel gak juga bunyi seperti yang kuharap.
“Ah, Mama sama Papamu keluar kota lagi?” tanya Rika dengan wajah cemas.
“Ya, begitulah. Jadi, aku belum sarapan deh. Dah!”
Sesak. Sesak. Bisa-bisa air mataku tumpah kalau begini.
Menghindari Kyo sangat susah dengan keadaan rumah kami bersebelahan.
“Lia,” panggil Tante Karin.
“Kenapa tante?”
“Tante baru tahu kalau ternyata Kyo sudah punya pacar sejak lulus SMP ya? Dia itu, bisa-bisanya baru ngomong. Kalau bukan karena kepergok teleponan, mungkin Tante gak bakal tahu sampai Tante mati.”
“Tante jangan berlebihan…”
“Tante kira Kyo sama Lia pacaran…”
Aku melambai-lambai tangan, “Gak kok Tante. Tapi, Lia pikir dia udah kasih tahu Tante. Dasar dia itu!”
Entah kenapa Tante Karin tiba-tiba bermuka serius dan berbisik-bisik, “Kyo bilang, pacarnya lagi liburan di luar kota jadi dia cuma telepon-teleponan. Sehabis makan malam dia langsung ke kamar dan nelepon. Tante pengen tahu apa aja yang mereka bicarain…”
Aku seperti punya firasat buruk.
“Jadi, kamu bantu Tante ya?”
Sudah kuduga. Aku harus diam-diam menaiki tangga dan menempelkan telingaku di pintu kamarnya. Ah, gak jelas kedengaran. Kayak orang lagi bisik-bisik.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
“Kamu nguping ya?”
Saking kagetnya aku mundur dengan spontan dan aku lupa kalau tangganya tepat di depan pintu kamarnya. Sial. Sakit banget kakiku.
“Kamu ini mau ngerjain PR ekskul bareng atau mau ngapain sih?”
Kyo menggendongku masuk ke kamarnya. Kami mengerjakan PR kami dan aku ketiduran. Paginya, saat aku bangun aku ada di tempat tidur Kyo. Aku buru-buru turun ke bawah. Duh, masih sakit banget.
“Besok-besok kalau kamu mau nginap di sini bilang dong, jadi bisa disiapin kamar. Gara-gara kamu aku jadi tidur di sofa ruang tamu. Sakit semua badanku nih.”
“Maaf deh, maaf.”
Dia kurang ajar. Bisa-bisanya gak bangunin aku.
“Lia mau sarapan?”
“Gak usah Ma, dia udah telat. Sana pulang, cepat mandi. Sebentar lagi aku jemput.”
“Dasar nyebelin! Apanya yang sebentar lagi! Aku belum nyiapin buku satu pun!”

*

Kali ini aku sama sekali gak punya bayangan apapun tentang masa depanku. Dulu aku berpikir mau jadi bagpacker dan keliling dunia, tapi setelah aku pikir-pikir mungkin aku harus cari pekerjaan. Sebelum itu aku gak tahu harus masuk universitas mana.
“Oi pengangguran.”
“Iya iya profesor.”
Kyo kuliah di UI, jurusan kedokteran dan Rika juga.
“Aku besok ke Jakarta, jangan kangen sama aku ya?”
Aku terdiam sebentar.
“Kamu kenapa?”
Aku melihat info kuliah di Jerman. Aku pikir aku akan coba tesnya.
“Kamu mau kuliah di Jerman?”
Sepertinya cuma perasaanku aja nada pertanyaan itu sedih.
“Hmm… aku bakal coba.”
Dia menepuk kepalaku tanpa bicara. Aku tahu itu tepukan kepala terakhir darinya.
Aku gak jadi ikut tes kuliah di Jerman. Aku sebenarnya masih bimbang. Aku juga sedang gak minat dengan bagpacker.
“Canada?”

*

Aku kaget saat tiba-tiba mendapat e-mail dari Kyo. Sudah empat tahun aku gak pulang ke rumah dan memberi kabar hanya lewat e-mail dan telepon melalui internet beberapa kali dengan Mama dan Papa.

Kamu gak jadi kuliah di Jerman dan gak kasih tahu aku?

Sejak kapan dia peduli sama aku?

Tapi aku tahu, di mana pun kamu ngikutin tes kuliah ke luar negeri kamu pasti lolos. Ah, teman-teman SMA mau reunian bulan Juni nanti.

Aku gak balas dan malah menghapus mailnya. Aku sudah dapat undangan dari ketua kelasku. Aku mungkin akan datang. Lagipula seharusnya aku memang sudah pulang. Aku sengaja melarikan diri dengan memperpanjang visaku.

Gak ada yang lebih berat dari kabar saat kamu tahu orang yang kamu cintai sudah menikah.
“Kita gak bisa bersama dengan orang yang kita cintai selamanya,” ucapku di liburan setelah UAN.
“Kenapa kamu ngomongin hal begitu di masa menunggu pengumuman sih?”
Aku tersenyum lemah padanya, “Terkadang ‘selamat tinggal’ juga perlu diucapkan untuk cinta.”
Wajahnya mengeras. Cuma aku yang tahu rahasia-rahasia ekspresi mukanya, “Kalau mau berusaha pasti bisa.”

Aku tersenyum mengingat pembicaraanku dengannya waktu itu. Bahkan perjalanan panjang di pesawat pun aku gak bisa tidur dan memikirkannya.
Kyo dan Rika sudah menikah tahun lalu setelah mereka sama-sama lulus S1. Aku titip pesan sama Mama untuk gak bilang aku di Canada dan aku sibuk kuliah. Aku sebetulnya bisa saja pulang, tapi kalau aku pulang aku bisa saja bertemu dengannya, itu menakutkan. Aku bersyukur Mama mengerti perasaanku.

“Selamat datang di Reunian angkatan ke sembilan puluh tujuh!....”
Aku bisa dengar mantan ekskul radio memimpin acara reuni kali ini. aku hanya bersembunyi di sini. Di depan ruang ekskul bahasa Inggris, karena dari sini aku bisa melihat lapangan dengan jelas. Semua berkumpul dan bersenang-senang. Aku juga bisa lihat Rika dan Kyo duduk bersama, bercanda dengan teman sekelas mereka.
Aku memainkan hapeku. Ah, kayaknya aku harus ganti hape model baru.
Dengan hati hampa aku melihat koleksi foto di hape yang selama empat tahun belakangan ini sama sekali gak pernah aku sentuh galerinya.
“Kamu lagi apa di sini, kenapa gak ikut ke sana?”
Aku menoleh kaget. Ternyata setelah empat tahun aku masih mengingat suaranya dengan baik. Aku melihat ke lapangan dan betul, Cuma Rika bersama teman sekelasnya.
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku kikuk.
“Itu kan pertanyaanku,” ucapnya sambil bersandar di pagar.
Aku meliriknya diam-diam, “Dari sini aku bisa melihat semuanya bersenang-senang.”
“Memangnya kamu gak pantas bersenang-senang?”
Aku diam.
“Kenapa kamu gak kasih tahu apa-apa selama empat tahun ini? kamu buat aku putus asa.”
Apa maksudnya?
“Tante gak mau bilang apa-apa. Dia cuma bilang kamu lagi sibuk kuliah. Waktu ada pertukaran mahasiswa ke Jerman, aku mati-matian bersaing dengan seluruh mahasiswa kedokteran—bisa kamu bayangin berapa banyak?—dan diam-diam di sana aku mencari tahu data mahasiswa beasiswa dari Indonesia. Aku gak nemuin namamu.”
“Yah, tiba-tiba aku tertarik ke Canada.”
“Mencari e-mailmu juga sangat susah.”
Sepertinya dia lagi gak dengerin aku.
“Ah, iya. Aku minta maaf.”
“Aku gak maafin.”
Lagi. Aku harus melihat rahasianya. Dia berwajah tersiksa, entah bagaimana. Kenapa jadi dia yang tersiksa sih? Harusnya kan aku?! Lagian kenapa aku masih harus melihat rahasianya sih!
“Iiih Kyo jahat deh,” ucapku sambil meninju kecil lengannya.
“Yang jahat itu kamu kan? Kamu ninggalin aku.”
Aku menoleh ke arahnya dan dia melihatku, dari tadi.
“Hee yang ninggalin aku kan kamu. Kamu kuliah duluan di UI. Masa kamu lupa?!”
“Aku bahkan milih UI karena kamu masukin UI sebagai salah satu universitas yang mau kamu masukin. Aku nunggu kamu di tahun berikutnya. Gak ada. Kamu gak ada.”
Kyo menggenggam pundakku erat, “Kamu ngomong apa sih?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa kamu gak pernah sadar kalau selama ini aku suka kamu?!”
Aku bersyukur musik berdentum-dentum di lapangan sehingga teriakan Kyo teredam.
“Kyo sudah punya Rika, jadi…”
“Aku gak mencin…”
Sial, air mataku akhirnya tumpah. Tahun lalu saat kudengar Kyo menikah, ah gak, jauh sebelumnya saat aku tahu mereka pacaran, aku bahkan gak bisa nangis.
“Kamu gak boleh ngomong begitu. Rika cantik, pintar dalam pelajaran juga memasak, pasti dia jadi istri yang baik, yang lebih penting dia sangat mencintaimu. Aku yakin perasaanku kalah…”
Ah, aku ngomong apa sih?!
“Apa? Kamu juga punya perasaan yang sama denganku tapi, tapi kamu tetap mengabaikanku?!”
Aku tersenyum getir.
“Kamu tahu? Benang yang putus kalau disambung dengan diikat gak akan bisa menjahit pakaian robek dengan bagus, perlu teknik khusus. Kita sudah di jalan kita masing-masing.”
Dia memelukku erat sampai aku sulit bernapas.
“Kyo, lepas. Aku bisa mati gara-gara gak bisa napas nih…”
Pelukannya mengendur, “Oke. Kalau begitu, nikmatin hidupmu. Saat kita ketemu lagi…”
“Aku akan kembali ke Canada besok. Mungkin aku gak bakal kembali lagi. Dah, gitu aja. Aku harus siap-siap. Pasti aku akan hidup dengan baik.”
Itu terakhir aku bertemu dengannya. Bahkan saat aku pulang ke Indonesia menjenguk Papa dan Mama, aku gak kasih tahu Kyo. Pernah aku coba menghubungi nomor kembaran kami dengan nomor lain. Nomornya gak aktif lagi. Aku gak nanyain apa-apa tentang Kyo sama Mama, Mama juga tahu dan gak bahasa Kyo. Sesekali aku mengunjungi Tante Karin dan meminta Tante untuk gak kasih tahu Kyo kalau aku mengunjungi Tante.

4 komentar :

  1. bagus. . . tp gak suka endingnya. . . gak suka dg tindakan tokohnya. . . :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. endingnya kenapa?
      tokohnya nyebelin ya?

      Hapus

write your comment here...

Blogger news